BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang
sempurna, yang mengatur semua aspek kehidupan baik hal yang besar maupun hal
yang kecil sekalipun. “Kesempurnaan Islam ini ditandai dengan syumuliyah azzaman (sepanjang masa), syumuliyatul minhaj (mencakup semuanya),
dan syumuliyatul makan (semua
tempat)”.[1]
Agama Islam diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui
perantara malaikat Jibril. Agama Islam merupakan suatu peraturan yang mengatur
kehidupan umat manusia di dunia dan di akhirat yang dengan peraturan tersebut
manusia akan menikmati kedamaian dan kesejahteraan baik di dunia lebih-lebih di
akhirat. Peraturan dalam agama Islam yang memperkuat Islam tersebut, dan
peraturan tersebut disyiarkan melalui dakwah. Dakwah merupakan misi (risalah)
mulia dari Allah SWT yang menyelamatkan umat manusia dari jurang kesesatan dan
kebingungan, lalu mengangkatnya ke mahligai kebahagiaan, dari kegelapan yang
mencekam menuju cahaya yang penuh dengan sinar terang benderang.[2]
Kedudukan para da’i sama seperti kedudukan para Nabi yang sama-sama bertugas
mengajak manusia menjalani kehidupan yang benar dan meninggalkan kesesatan. Hal
ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat
al-Imran: 104
`
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah
orang-orang yang beruntun”.[3]
Pada
hakikatnya dakwah merupakan upaya sadar untuk mempengaruhi orang atau pihak
lain agar melakukan hal-hal yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dakwah.
Dalam artian, dakwah di era globalisasi pun juga merupakan upaya sadar untuk
merubah individu atau kelompok. Selain itu, dakwah juga merupakan aspek penting
tersebarnya agama Islam.
Thoha
Yahya Umar mengatakan bahwa: “Sejarah dakwah umum dimulai sejak filosof Yunani
sebelum masehi, tetapi sebenarnya jauh lebih tua daripada itu, yakni dimulai
sejak iblis mempengaruhi Nabi Adam dan Siti Hawa dengan rayuannya untuk memakan
buah khuldi”.[4]
Iblis pada dasarnya merupakan hamba Allah SWT yang taat, akan tetapi iblis
mempunyai sifat sombong yang membuatnya tidak mau sujud kepada Nabi Adam,
sehingga dengan kesombongannya itu membuat iblis dilaknat oleh Allah SWT.
Segala macam cara iblis menggoda Nabi Adam, salah satunya dengan menggoda Nabi
Adam dan Siti Hawa untuk memakan buah khuldi.
Demikianlah
permulaan awal dakwah dilakukan, sedangkan di masa Rasul, Hasan Ibrahim dalam
bukunya yang berjudul Dustur Dakwah
Al-Qur'an mengatakan “Permulaan dakwah Islam berasal dari turunnya surat
Mudatsir ayat 1-7 sebagai perintah kepada Rasul untuk memulai dakwah”.[5]
Agama
Islam merupakan agama dakwah, berkembang dan tidaknya suatu agama sangat
ditentukan oleh kegiatan dakwah yang dilakukan oleh umatnya. Dilihat dari segi
tujuanya, dakwah bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Misi
dakwah adalah merekrut manusia ke dalam Islam dan dakwah, hanya mungkin
dilakukan oleh orang-orang yang secara sadar menghidmatkan dirinya kepada
Islam. Karena seorang da’i tidak
mampu memberi hidayah, ia hanya menuntun manusia kepada hidayah itu.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat Al-Qashash: 56
Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan
Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.[6]
Permasalahan yang sering hadir dalam
berdakwah adalah kurangnya pemahaman para da’i
tentang dakwah itu sendiri, sehingga keberhasilan dakwah akan tergantung kepada
pemahaman da’i dan metode yang
digunakan da’i tersebut dalam
menyampaikan materi dakwah. Di antara metode yang bisa digunakan oleh seorang da’i dalam menyampaikan materinya bisa menggunkaan
metode hikmah, pelajaran yang baik dan bisa juga dengan metode bertukar
pikiran dengan cara yang baik, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an surat An-Nahl: 125
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[7]
“Hikmah
dalam ayat di atas adalah kemampuan untuk memilih bentuk yang tepat serta
mempergunakannya dengan tepat dan mampu memperkirakan objek dakwah, melihat
situasi, kondisi mad’u”.[8] Dalam
berdakwah seorang da’i harus
mengetahui metode apa yang akan disampaikan dan seorang da’i juga harus memiliki pemahaman tentang fiqhud dakwah.
Dengan fiqhud dakwah agar keberhasilan dalam berdakwah dapat dicapai.
Mohammad
Natsir adalah salah satu da’i yang
namanya selalu dikenang oleh bangsa ini. “Ia merupakan seorang negarawan
muslim, ulama intelektual, tokoh pembaharuan kenamaan. Itulah predikat yang
bisa disematkan pada tokoh Muslim yang satu ini”.[9] Mohammad
Natsir merupakan seorang da’i yang memahami tentang fiqhud dakwah
sehingga keberhasilannya dalam berdakwah diukirnya baik di tingkat nasional
maupun di tingkat internasional. “Ia pernah menjadi wakil presiden pada
organisasi Islam Internasional pada tahun 1967. Ia juga pernah menjadi anggota Rabitah al-Alam al-Islam, serta ia
pernah masuk anggota Dewan Masjid Sedunia”.[10]
Keberhasilan dakwah Mohammad Natsir di antaranya karena ia mempunyai pemahaman
yang benar tentang dakwah. Sosok kepribadian Muhammad Natsir menjadi contoh
bagi para da’i yang ingin berdakwah.
Dari
pendapat di atas, dapat diketahui bahwa dalam berdakwah harus mempunyai
pemahaman tentang fiqhud dakwah, inilah yang dimiliki Mohammad Natsir.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat skripsi yang berjudul: Fiqhud Dakwah Menurut Mohammad Natsir
(Studi Analisis Terhadap Kaifiat dan Adab Dakwah).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana esensi fiqhud dakwah
?
2.
Bagaimana konsep dakwah Mohammad
Natsir ?
3.
Bagaimana fiqhud dakwah menurut
Mohammad Natsir tentang kaifiat dan adab dakwah ?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
a.
Untuk mengetahui esensi fiqhud
dakwah.
b.
Untuk mengetahui konsep dakwah
Mohammad Natsir.
c.
Untuk mengetahui fiqhud
dakwah menurut Mohammad Natsir tentang kaifiat dan adab dakwah.
2.
Kegunaan Penelitian
a.
Secara teoritis
Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan
pengetahuan tentang bagaimana fiqhud dakwah menurut Mohammad Natsir
tentang kaifiat dan adab dakwah.
b.
Secara praktis
Penelitian ini berguna bagi peneliti sendiri, bangsa dan
agama Islam serta para calon da’i
dalam menentukan kaifiat dan adab berdakwah.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini adalah penelitian
pustaka (library research).
Berdasarkan tinjauan yang penulis lakukan sampai saat ini belum terdapat
penulis yang membahas fiqhud dakwah menurut Mohammad Natsir tentang kaifiat dan adab dakwah. Namun ada tulisan yang
senada dengan penelitian yang akan dilakukan di antaranya:
1.
Peranan Mohammad Natsir Dalam
Pengembangan Dakwah Islam di Indonesia (Telaah Kontribusinya Melalui Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia)
oleh M. Miftah Firdaus NIM. 9651063. Di dalam skirpsinya, dijelaskan mengenai
kontribusi Mohammad Natsir melalui dewan dakwah Islamiyah Indonesia. Hal ini memiliki
kesamaan dan perbedaan dengan penulis lakukan saat ini, di mana persamaannya
terletak pada tokohnya dan perbedaannya terletak pada pembahasannya. M. Miftah
Firdaus meneliti tentang peranan Mohammad Natsir dalam pengembangan dakwah
Islam di Indonesia (telaah
kontribusinya melalui dewan dakwah Islamiyah Indonesia). Sedangkan penulis
memilih Fiqhud Dakwah menurut Mohammad Natsir (Studi Analisis Terhadap Kaifiat
dan Adab Dakwah)
2.
Urgensi Fiqhud Dakwah
Bagi Da’i Dalam Menunjang keberhasilan Dakwah oleh Abdul Somad NIM.
9951002. Di dalam skripinya ini, Abdul Somad hanya mengkaji urgensi dakwah bagi
da’i dalam menunjang keberhasilan
dakwah. Sedangkan penelitian yang penulis akan lakukan adalah membahas Fiqhud
Dakwah menurut Mohammad Natsir (Studi Analisis Terhadap Kaifiat dan Adab
Dakwah).
3.
Mohammad Natsir dalam bukunya “Di
Bawah Naungan Risalah”. Dalam karyanya ini Beliau menjelaskan tentang
contoh para da’i pada masa sahabat yang berdakwah tak kenal
henti walaupun intimidasi datang kepadanya. Di dalam buku ini juga dijelaskan
contoh kelompok dan orang yang memusuhi Islam.
4.
Mohammad Natsir dkk. Dalam
bukunya “Berilmu, Beraqidah dan Beramal”. Dalam buku ini menjelaskan
dakwahnya Mohammad Natsir melalui khutbah. Dalam salah satu khutbahnya Mohammad
Natsir mengajak semua orang untuk beramal dan membekali pondasi dengan
keimanan.
5.
Jum’ah Amin Abdul Aziz dalam
bukunya “Fiqhud Dakwah” (studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang
harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiyah). Melalui karyanya ini Beliau
lebih banyak mengungkapkan mengenai kaidah-kaidah dalam berdakwah. Di dalam
buku ini, di antaranya juga dijelaskan mengenai tujuan yang ingin diraih dan
sarana yang dibutuhkan dalam berdakwah.
Dari penelitian yang sudah ada,
terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penelitian yang diteliti oleh
peneliti sebelumnya dengan penelitian
yang diteliti oleh penulis saat ini. Perbedaan tersebut membuat penulis
berusaha menjelaskan mengenai Fiqhud Dakwah menurut Mohammad Natsir
(Studi Analisis Terhadap Kaifiat dan Adab Dakwah).
E. Kerangka Teori
|
Sedangkan menurut Syekh Ali Mahfudh,
“Dakwah adalah mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk
agama, menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat”.[13]
Jadi fiqhud dakwah adalah pemahaman tentang cara mengubah dari situasi
keburukan kepada kebaikan, dan kemaksiatan kepada keimanan kepada Allah SWT
dalam semua sisi kehidupan manusia.
Selain itu, “Dakwah merupakan tugas dan
amalan setiap muslim karena dakwah juga merupakan tugas sejarah yang tidak
dapat dielakkan bagi setiap muslim yang menerima risalah Nabi Muhammad
SAW”.[14]
Dalam kaifiat dan adab berdakwah seorang da’i harus paham terhadap kondisi mad’u agar dapat menentukan metode dan materi yang tepat. Menurut
Mohammad Natsir dalam bukunya fiqhud dakwah mengatakan kaifiat
dan adab dakwah adalah cara-cara yang ditempuh oleh seorang da’i untuk
menyampaikan dakwah kepada mad’unya agar dakwahnya dapat diterima oleh mad’unya.[15]
Adapun kaifiat dan adab berdakwah yang bisa digunakan oleh seorang da’i sebagaimana termuat dalam al-Qur’an
surat An-Nahl
ayat 125:
äí÷$#
4n<Î)
È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/
ÏpsàÏãöqyJø9$#ur
ÏpuZ|¡ptø:$#
( Oßgø9Ï»y_ur
ÓÉL©9$$Î/ }Ïd
ß`|¡ômr& 4
¨bÎ)
y7/u
uqèd
ÞOn=ôãr& `yJÎ/
¨@|Ê
`tã ¾Ï&Î#Î6y
( uqèdur
ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/
ÇÊËÎÈ
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.[16]
“Bil
hikmah (dengan kebijaksanaan), mau’izatil
hasanah (pelajaran yang baik) dan mujadalah
billati hiya ahsan (bertukar pikiran dengan cara yang baik)”.[17]
Dengan ketiga cara berdakwah di atas,
akan lebih mudah diterima dan dilaksanakan oleh mad’u. Menurut Imam Jalaluddin al-Mahally dalam kitabnya “Tafsir Jalalain” bahwa Hikmah
mengandung tiga pengertian:
1.
Perkataan yang kuat disertai
dalil-dalil yang menjelaskan kebenaran dan
menghilangkan kesalahpahaman serta dapat dibedakan antara kebenaran dan
kebatilan
2.
Bimbingan atau ajakan yang baik
meliputi ajakan untuk mengikuti kebenaran dan peringatan terhadap kebatilan
3.
Perdebatan dengan menggunakan
cara yang baik serta menggunakan dalil aql
dan naql. Menolak kebatilan dengan
jalan singkat dan memberi uraian secara tepat terhadap orang-orang yang
menentang.[18]
Pendapat di atas dapat dipahami bahwa
Hikmah bersikap lemah lembut, ramah,
toleran, penuh maaf dan sabar serta menggunakan dalil-dalil naql dan aql terhadap orang-orang
yang cerdik pandai yang kurang menerima hak dan kebenaran serta peringatan
kebatilan.
Mauizotil hasanah, menurut bahasa
berasal dari kata “Mauizhan wa adzo wa
idzu wa adzan-idzatan” yang berarti nasehat, bimbingan, pendidikan dan
peringatan. Sementara “hasanah” artinya
kebaikan.[19]
Jadi, mauizotil hasanah dapat diartikan sebagai
ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah,
berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif yang bisa dijadikan dalam
kehidupan mendapat keselamatan dunia dan akhirat.
Sedangkan mujadalah berasal dari kata jadala
dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Sedangkan menurut
istilah, mujadalah adalah upaya tukar
pendapat yang dilakukan oleh dua belah pihak secara sinergis, tanpa adanya
suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan kedua pihak.[20]
Jadi, Mujadalah merupakan tukar
pendapat yang dilakukan oleh kedua belah pihak secara sinergis yang tidak
melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan
dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat.
F. Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian dan Sumber Data
a.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bentuk penelitian literatur
atau kepustakaan (library research).
Kepustakaan adalah salah satu hal yang diperlukan dalam persiapan penelitian
ialah mendayagunakan sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa
informasi yang tersedia. Tidak mungkin suatu penelitian dapat dilakukan dengan
baik tanpa orientasi pendahuluan kepustakaan.[21]
Pendahuluan melalui perpustakaan bisa membawa penulis memiliki cakrawala
berpikir yang luas sehingga nantinya akan menghasilkan suatu karya yang
memuaskan, tanpa adanya pendahuluan perpustakaan tidak dapat berjalan secara
maksimal.
b.
Sumber Data
1)
Sumber data primer, yaitu data
pokok yang bersumber dari al-Qur'an, hadits dan buku-buku yang berhubungan
dengan masalah penelitian, seperti buku fiqhud dakwah Mohammad Natsir,
biografi Mohammad Natsir dan lain sebagainya.
2)
Sumber sekunder adalah data
pelengkap yang diperoleh dari internet, koran, majalah dan lain-lain yang
berkaitan dengan pokok permasalahan.
2.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data melalui langkah-langkah yang sistematis dan
terencana, yaitu dengan cara:
a.
Melakukan observasi awal
terhadap literatur-literatur yang berhubungan dengan persoalan penelitian,
gunanya untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya dan menyelesaikan
bahan-bahan kepustakaan yang dapat dijadikan sumber data.
b.
Mengklasifikasikan
literatur-literatur tersebut untuk dijadikan sebagai sumber primer ataupun
sekunder.
c.
Menganalisis isi dari literatur
yang sudah diklasifikasikan tadi sehingga diperoleh suatu pemahaman yang
komprehensif.
3.
Teknik Analisa Data
Data yang terkumpul dari berbagai sumber di atas dianalisa secara
deskriptif kualitatif, yakni dengan cara diuraikan, klasifikasi berdasarkan
masalah penelitian, kemudian dianalisis dengan logika ilmiah secara deduktif
yakni menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang masih bersifat umum
menjadi pernyataan yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Bab pertama, pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, pengertian dakwah dan fiqhud
dakwah yang menguraikan tentang definisi dakwah dan fiqhud dakwah,
kewajiban dakwah menurut syar’i,
keutamaan dari dakwah dan ruang lingkup dari fiqhud dakwah.
Bab ketiga, biografi Mohammad Natsir,
yang menguraikan riwayat hidup, perjuangan dan karyanya Mohammad Natsir.
Bab keempat, fiqhud dakwah menurut
Mohammad Natsir Studi Analisis terhadap kaifiat dan adab dakwah yang
menjelaskan pemikiran Mohammad Natsir tentang dakwah, kaifiat dan adab
dakwah Mohammad Natsir yang berisikan tentang hikmah dalam arti mengenal
golongan, memilih kata yang tepat, uswatun hasanah dan mawaddah fil
qurba.
Bab kelima, penutup yang berisi
kesimpulan dan saran-saran.
[1] Rusmiati dkk, Panduan
Mentoring Agama Islam, (Jakarta:
Departemen Pembinaan Iqro Club, 2003), h. 28.
[2] Ibnu Taimiah, Etika Beramar
Ma’ruf Nahi Munkar, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h.7.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, (Surabaya: Surya Cipta, 1996), h. 99.
[4] Thoha Yahya Umar, Ilmu Dakwah,
(Jakarta: Wijaya, 1967), h. 5.
[5] Hasan Ibrahim, Dustur Dakwah
Menurut Al-Qur'an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 348.
[6] Departemen Agama RI, Op.Cit.,
h. 695.
[7] Ibid., h. 473.
[8] Mohammad Natsir, Fiqhud
Dakwah, (Jakarta:
Media Dakwah, 2000), cet. ke-11, h. 165.
[9] Tim Redaksi Sabili, Mohammad
Natsir Kiai Perdana Menteri, Sabili, edisi khusus, No. 9, th. X 2003, h.
104.
[10] Ibid., h. 106.
[11] Muhammad Yunus, Kamus Bahasa
Arab-Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 63.
[12] Endang Saifudin Anshari, Wawasan
Islam, (Jakarta:
Gema Insani, 2004), h.152.
[13] Muhammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah,
(Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 4.
[14] Toha Yahya Umar, Islam dan
Dakwah, (Jakarta:
Al-Mawardi Prima, 2004), h. 1.
[15] Mohammad Natsir, Op.Cit.,
h. 177.
[16] Ibid., h. 225.
[17] Mohammad Natsir, Op.Cit.
[18] Imam Jalaluddin as-Mahally, Tafsiran
Jalalain, (Bandung: Sinar Baru, 1990), h. 125.
[19] Muhammad Yunus, Kamus Bahasa
Arab-Indonesia, (Bandung: Diponegoro, 1993), h. 227.
[20] Ibid., h. 215.
[21] Masri Singarimbun dan Sopian Efendi, Metode Penelitian, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar