Minggu, 12 April 2015

MENIKAH JANGAN ASAL-ASALAN

Rayhan Imam , S. Kom. I


Rayhan Imam 
Ini hanya berdasarkan cerita banyak orang tua yang saya jumpai. Menurut mereka, orang dulu tidak membutuhkan perkenalan yang intens sebelum memutuskan untuk menikah. Bahkan, dalam banyak kasus, antara mempelai laki-laki dan perempuan baru bertemu sesaat sebelum akad. Pertanyaannya; mengapa mereka yang pernikahannya tanpa proses “pacaran” itu justru bisa langgeng, harmonis, beranak-pinak, dan tetap setia plus romantis sampai kakek-nenek? Jawaban yang saya peroleh; ternyata manusia adalah makhluk yang paling mudah untuk beradaptasi.
            Manusia tanpa perkenalan sekalipun sebenarnya mampu untuk menjalin ikatan suci bernama pernikahan. Justru ketika kondisi tersebut berangkat dari niatan yang murni, menjadikan rumah tangga benar-benar manis dan romantis. Pasalnya, di awal pernikahan pasti ada kecanggungan-kecanggungan. Kecanggungan itu tentu saja tidak berjalan dalam waktu yang lama. Seminggu dan seterusnya menjadi biasa dan akhirnya begitu akrab dan intim. Kisah awal pernikahan itu yang kemudian menjadi berkesan dan sangat indah untuk diceritakan kemudian.
            Lain dulu lain sekarang. Kebiasaan lama yang sebenarnya baik dan ideal menjadi lain ceritanya untuk konteks saat ini. Sekadar berkaca saja, saat ini banyak orang tua yang membolehkan anaknya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Sayangnya, tidak banyak orang tua yang mendukung anaknya untuk menikah dibanding hanya sekadar pacaran dan model hubungan lainnya. Padahal tidak ada jaminan semakin lama berhubungan (pra pernikahan) semakin lama pula durasi pernikahan. Kita saksikan secara mudah, mereka yang berpacaran 5-10 tahun, ternyata usia pernikahannya hanya 5-10 bulan saja. Na’ūdzubilLāh…
            Selain itu, logika yang digunakan juga tidak tepat. Banyak orang yang ketika sebelum menikah begitu mesra dengan pasangannya. Padahal hal itu sama sekali tidak ideal bahkan dilarang. Selanjutnya, ketika mereka sampai pada pernikahan, kemesraannya justru luntur dan menghilang. Menggandeng isteri terasa canggung. Mengecup kening isteri sebelum berangkat kerja terasa aneh. Sementara yang demikian itu bagi orang menikah tiada lain adalah pahala dan kebaikan. Sebab pernikahan adalah media yang mengonversi banyak hal yang awalnya berimplikasi dosa menjadi berpahala.
            Dari situlah, saya menaruh rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada mereka berhasil menikah tanpa “pacaran” terlebih dahulu. Mereka yang ketika suka dengan seorang perempuan, dengan percaya diri dan yakin mendatangi walinya. Mereka menyatakan diri siap untuk menikahi perempuan tersebut dengan segenap konsekuensinya. Mereka begitu yakin dengan Indahnya Pacaran setelah Pernikahan seperti judul buku Salim A. Fillah itu. Hal itu tentu bukanlah pilihan yang mudah. Tetapi bagi saya pribadi justru itulah yang lebih baik dan ideal untuk lebih menjaga diri dan melatih kedewasaan.
Menikah adalah Pilihan
            Menikah memang bukanlah perkara yang sederhana. Begitu banyak “masalah” yang harus dituntaskan oleh seorang yang akan menikah. Pasalnya, pernikahan bukan sekadar urusan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Pernikahan adalah pertemuan dua rombongan akbar, keluarga besar laki-laki dan perempuan. Dalam konteks itulah, kalau tidak disiasati dan dihikmati, pernikahan menjadi sangat kompleks. Selain hal tersebut, karena pernikahan adalah ikatan suci yang hanya diharapkan sekali saja terjadi dalam hidup ini. Karena itulah, menikah memang tidak semudah yang dibayangkan.
               Ada buku yang sangat menarik berjudul Udah Putusin Aja! Awalnya saya bertanya-tanya; mengapa tidak Udah Nikahin Aja! saja judulnya? Saya baru menemukan jawabannya setelah membaca secara tuntas buku tersebut. Penulis buku tersebut memaparkan bahwa untuk sampai pada pintu pernikahan tidaklah simpel. Ada yang sudah siap tapi belum juga mendapat restu dari orang tua. Ada lagi yang sudah ngebet tapi tak juga memperoleh izin dari calon mertua. Lainnya, sudah siap lahir-batin, sudah dapat restu dan ridha dari orang tua, eh belum punya calon isterinya. Inikah yang dinamakan musibah?
Melihat betapa tidak sederhananya seorang yang sudah berpacaran untuk menikah maka penulis buku tersebut menganjurkan untuk: Udah Putusin Aja! Dengan begitu justru lebih aman dan menyelamatkan. Sebab, pacaran itu—menurutnya—tidak menjadikan kita dewasa tetapi hanya menjadikan kita beradegan dewasa. Di titik itulah, dia menyarankan untuk menyudahi pacaran kalau memang belum siap untuk menikah. Karena pernikahan yang baik tidak harus dengan pacaran dahulu. Bagi yang terlanjur punya hubungan khusus, dan tidak mau “putusan”, pilihannya hanya satu yaitu menikah!
            Memang, kalau berbicara tentang pernikahan senantiasa menarik dan unik. Tetapi pada akhirnya menikah adalah sebuah pilihan. Semuanya tergantung apa yang menjadi niatan kita dalam menikah tersebut. Kalau tekadnya sudah bulat, niatnya sudah tulus, Allah-lah yang akan membukakan jalannya. Bagi yang sudah benar-benar berkeinginan untuk menikah disarankan untuk membayangkan betapa indahnya pernikahan. Pernikahan menghantarkan kepada keridhaan Allah dan menghindarkan diri dari kemaksiatan. Dengan begitu, bayangan konsekuensi menikah yang memang tidak mudah itu menjadi tertutupi.
            Menancapkan mindset yang tepat sangatlah penting. Katakanlah seorang sudah mendekati pintu pernikahan. Tetapi yang dia bayangkan adalah banyak hal negatif tentang pernikahan. Tentu saja pernikahan justru menjadi bumerang baginya. “Bagaimana nanti kalau banyak yang tidak suka dengan pernikahan saya?” bisiknya dalam hati. “Bagaimana kalau nanti punya anak, gimana ngurusnya?” bisiknya lagi. “Kalau orang tua tidak lagi memberikan kiriman rutin, terus gimana?” pungkasnya, menakuti dirinya sendiri. Pelbagai teror yang dimunculkannya sendiri itu pasti akan mengubur dalam-dalam keinginan mulianya untuk menikah.
            Perlu ditegaskan kembali bahwa ketika memang ingin menikah maka sebaiknya membuang jauh-jauh pikiran negatif. Justru yang perlu dibayangkan adalah keindahan, keromantisan, kehangatan, kebaikan, kebahagiaan, ketenangan, dan kasih sayang yang lahir dari pernikahan tersebut. Tentu semuanya tidak hanya terhenti dalam bayangan hampa. Hal itu kemudian diikuti dengan langkah cerdas untuk lebih memantapkan diri. Kemantapan diri tentu meliputi kesiapan lahir dan batin. Kalau pijakan awalnya lurus maka langkah selanjutnya akan dimudahkan oleh Allah. Itu adalah janji-Nya dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
            Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa pernikahan adalah sebuah pilihan. Pilihan tidak sekadar pilihan karena di balik itu ada tanggung jawab dan konsekuensi. Siap menikah berarti siap untuk melangkah bersama dengan pasangan hidup, susah-senang bersama, pahit-manis dijalani berdua. Semuanya akan terasa indah kalau apapun itu dikembalikan kepada niatan awal pernikahan. Semuanya memang karena Allah. Awalnya kita bukan siapa-siapa lalu diberikan amanah oleh Allah untuk membina rumah tangga. Itu artinya Allah percaya kepada kita. Jika kita lurus dan mantap maka Allah yang akan menggenapinya. In syā Allah
            Seorang dosen yang sangat perhatian dengan mahasiswanya memberikan nasihat kepada saya. Menikah itu, ujarnya, hanya butuh 3S (bukan S3). S yang pertama; Siap menjadi orang tua. Sebab cepat atau lambat, pernikahan akan menghasilkan anak keturunan. Mereka yang menikah harus siap untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya. S yang kedua; Siap mengalami perubahan, dari awalnya sendiri menjadi berdua. Bangun dari tidur suasananya sudah lain. Awalnya hanya ditemani bantal-guling, sekarang bersama isteri tercinta. S yang terakhir; Siap menerima pasangan hidup apa apanya. Itu juga tidak mudah.
            3S tersebut sebenarnya sangat ideal untuk menjadi bekal mereka yang memilih jalan dakwah dengan menikah. Rumah tangganya menjadikan dia lebih kuat dalam menjalani huru-hara kehidupan. Pasangan hidupnya menjadi teman setia untuk bersama-sama meraih keridhaan Allah. Kerikil yang menghalang itu biasa karena hidup tidak pernah lepas dari cobaan. Justru karena berdua itulah menjadi lebih waspada dan teliti. Salah satunya dihadapkan dengan masalah, lainnya memotivasi dan membatu menyelesaikan. Ringkasnya, jika demikian konsepnya maka pilihan menikah menjadi sangat indah dan berkah.
Saling Menggenapi
            Ketika kabar tentang hari dan tanggal pernikahan saya tersiar, berdatanganlah apresiasi dan komentar. Diantaranya, misalnya, “Enak nih kalau nanti sudah nikah. Ada yang masakin, ada yang nyuciin, ada yang nyetrikain…” Dari situ saya berpikir dalam-dalam. Benarkah isteri itu tidak lebih laksana “pelayan”; juru masak, tukang cuci, dan tukang setrika? Mungkin ada benarnya, karena ketika seorang isteri melakukannya dengan tulus bernilai kebaikan baginya. Tetapi bukanlah lebih indah dan juga memuliakan perempuan ketika suami juga membantu meringankan kewajiban isteri? Semua memang pilihan.
            Hidup bersama berarti juga siap untuk bersama-sama melakukan banyak hal yang berharga. Kebersamaan itu bukan untuk mencari siapa yang lebih berarti tetapi untuk saling melengkapi dan menggenapi. Sudah maklum bahwa pernikahan adalah kombinasi dua insan yang berbeda, dengan karakter dan kepribadian yang berbeda pula. Dengan begitu, dibutuhkan keterbukaan sikap untuk saling menerima dan memaklumi kemudian duduk bersama untuk berbagi dan saling memberi masukan. Itulah hakikat dari kebersamaan. Bersama untuk saling mengedepankan sisi baik dan bersama-sama pula menutupi celah dan aib.
            Biduk rumah tangga dibangun untuk membentuk rumah bahagia di dunia. Itulah mengapa dahulu Rasulullah bersabda: “Baitiy jannatiy (rumahku adalah surgaku).” Suasana surga itu akan tercipta tatkala suami isteri bisa melangkah seiring-sejalan. Kesuksesan suami adalah juga kesuksesan isteri, begitupun sebaliknya. “Di balik lelaki yang sukses ada wanita yang mendampinginnya dan dia adalah isterinya,” begitu nasihat orang bijak. Konsep saling menggenapi itu berarti memaksimalkan potensi masing-masing untuk kemudian bersatu menuntaskan misi yang sudah dirancang.
Berjuang dalam Dakwah
            Saya sangat senang dengan sebuah nasihat yang bunyinya berikut ini. “Pernikahan hendaknya tidak hanya dilakukan untuk menaati syariat Islam tetapi lebih dari itu untuk mendakwahkan Islam.” Inilah yang sebenarnya menjadi PR bersama, tegasnya PR rumah tangga saya. Pernikahan memang harus diproyeksikan kepada sesuatu yang lebih bermakna, lebih berharga, lebih bermartabat, dan nilai gunanya lebih luas dan lama. Menikah hanya untuk kepentingan pribadi memang tidak salah tetapi sangat minim sekali faidahnya. Pernikahan yang dilakukan untuk mendakwahkan Islam itulah yang kemudian sangat luar biasa.
            Dalam rangka memulainya diawali dengan komitmen bersama bahwa dengan menikah berarti melanjutkan dahwah dalam formasi yang lebih ideal. Pernikahan harus diupayakan sedemikian rupa untuk dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi yang lain. Itulah hakikat dakwah. Tidak harus dengan kata-kata tetapi cukup dengan perwujudan kata tetapi sangat dahsyat pengaruhnya. Selain itu, dengan menikah kita juga menyadari bahwa pasangan hidup bukan semata milik kita. Tetapi boleh jadi pasangan hidup kita adalah milik umat yang sewaktu-waktu kita harus rela melepasnya mengabdi untuk kemaslahatan umat.
            Banyak yang kemudian berkomentar miring. “Nikah muda nanti malah putus studinya. Apa-apa menjadi terbatasi…” Komentar tersebut boleh jadi benar karena pasti banyak fakta yang memang demikian. Tetapi kalau hal itu yang banyak digaungkan maka akan memupuskan keinginan mulia mereka yang akan menikah. Pada purnanya, pernikahan bukanlah penghambat untuk terus maju dan berkembang. Pernikahan tidak kemudian membatasi aktivitas dahwah, berjuang mensyiarkan panji-panji Islam. Dengan menikah, batin menjadi lebih terarah, sehingga karenanya bisa lebih mantap dan fokus dalam dakwah.
            Kehidupan ini secara universal sebenarnya wahana bagi setiap insan untuk terus berjuang di jalan Allah. Saya katakan bahwa dakwah sangatlah penting. Banyak yang kemudian bertanya: apakah semua orang harus menjadi penceramah? Tentu saja tidak, karena dakwah itu makna dan penjabarannya sangat luas. Penceramah yang menyampaikan tausyiahnya di atas mimbar hanyalah sebagian dari dakwah itu sendiri. Dan menjadi penceramah juga termasuk pilihan bagi seorang yang ingin berdakwah. Oleh karena itu, sebenarnya kalau direnungi bersama dakwah adalah bagian integral dari universalitas kehidupan kita.
            Pernikahan dalam konteks itulah sebenarnya benar-benar menjadi perantara untuk mengepakkan sayap dakwah. Sebagai contoh, mereka yang awalnya sendiri mungkin masih sering lirik kanan-kiri. Ketika berdakwah, bertemu dengan wanita yang berparas cantik mungkin sudah lain ceritanya. Tetapi ketika sudah menikah in sya Allah akan lebih murni dan lurus tujuannya. Sebab, isteri di rumah bagaimanapun tetaplah yang paling cantik. Itu artinya tidak perlu lagi lihat yang lain. Dengan begitu dakwah tentu saja menjadi lebih mantap. Pernikahan memang bukan jaminan tetapi Islam memang mengajarkan demikian untuk menjaga pandangan.
            Selanjutnya, kembali kepada masing-masing yang menjalani. Akan dibawa kemana mahligai rumah tangga yang sudah terjalin. Pilihan untuk terus dan tetap berjuang dalam dakwah di tengah tanggung jawab yang bertambah barangkali adalah satu hal yang tidak mudah. Tetapi jatuh-bangunnya hamba dalam dakwah sebenarnya adalah anugerah yang terindah. Ketika kehidupan berlalu lancar tanpa harus diperjuangkan, dimana letak keindahannya? Keindahan hidup karena kita harus berpeluh keringat, berjuang berdarah-darah, mengusahakan yang terbaik sebagai wujud kecintaan kita kepada Allah.
            Salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah. Artinya, cepat atau telat mereka yang berumah tangga akan dikaruniani buah hati. Buah hati atau anak tiada lain adalah kepanjangan tangan orang tua. Mereka pula yang nantinya akan melanjutkan tugas dan amanah kedua orangnya. Bagi orang tua, mendidik anak sebaik mungkin, mencurahkan kasih sayang yang tulus, hinggga buah hati menjadi anak yang shalih dan shalihah adalah bagian dari dakwah. Mereka yang kemudian dengan ikhlas mendoakan yang terbaik untuk orang tuanya, dan itulah buah dari didikan orang tua.
            Perjuangan dakwah melalui jalur pernikahan memang luar biasa. Di situlah kita lebih dilatih untuk belajar meletakkan kepentingan pribadi lalu bangkit memikirkan kebaikan dan kemaslahatan banyak pihak. Nasihat yang sering diperdengarkan: “Ketika kita memikirkan kesejahteraan orang lain maka Tuhan yang akan memikirkan kesejahteraan kita. Sebaliknya, tatkala kita memikirkan kesejahteraan diri kita pribadi maka Tuhan akan memikirkan kesejahteraan orang lain.” Semakin besar kita berkorban dalam dakwah dan kebaikan maka kita akan semakin dijamin oleh Allah Yang Maha Segalanya. InnalLāha ma’anā…
            Terakhir, saya hanya ingin memberikan nasihat bagi mereka yang saat ini sedang bimbang. Kalau memang yakin masih kuat dengan kesendirian, masih butuh banyak persiapan, maka tidak menikah cepat adalah pilihan bijak. Andai sudah mendapatkan gadis pujaan, segara siapkan diri, mantapkan mental untuk melamar, dan jangan mengulur-ulur tanggal pernikahan. Bagi yang sudah menjalin hubungan tetapi ternyata karena satu dan lain hal belum siap menikah hendaknya merenungkan ulang paparan sebelumnya. Pastinya, perjuangan dakwah itu akan semakin indah bila sesuai dengan jalan Allah, Pemberi Rahmah.
            Perlu juga diingat bahwa menikah juga tidak boleh asal-asalan. Jangan sampai pernikahan baru berumur jagung tetapi harus dibawa ke Pengadilan Agama. Kita memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pendamping hidup. Saran Rasulullah, utamakan agama (akhlak, perilaku, perangai) yang menjadi patokannya. Kalau sudah mantap langsung diteruskan kepada pintu kemuliaan bernama pernikahan. Menunda berarti memberikan kesempatan diri untuk menjadi ragu; jangan-jangan dia bukan yang terbaik. Semakin banyak memilih seringkali membuat bimbang. Wa akhīran, mantapkan dan terus lanjutkan perjuangan dakwah kita

Senin, 10 Maret 2014

Indahnya Pemuda Islam Oleh: Rayhan Imam, S. Kom. I

ISLAM. Tak pernah jemu untuk membahas satu agama wahyu yang mulia ini. Saya sendiri menyadari bahwa kecintaan para pemuda muslim terhadap Dien nya sudah begitu jauh, bukan karena sebab, namun memang secara tersistem ternyata telah ada langkah-langkah terstruktur yang menjauhkan pemahaman dan kecintaan pemuda terhadap Islam. Paling tidak menjauhkannya dari segala nilai yang bernafaskan Islami dan digantikan dengan nafas kebaratan (westernisasi).
Dr. Adian Husaini dalam makalahnya bertajuk “Liberalisasi Islam di Indonesia” menyebutkan bahwa liberalisasi Islam sudah ditanamkan sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan dari dalam tubuh organisasi Islam sendiri telah tumbuh upaya yang sistematis terkait liberalisasi Islam di Indonesia ini. Dimulai awal tahun 1970-an yaitu pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekulerisasi Islam. Masih berasal dari sumber makalah yang sama, Pak Adian menyatakan pula bahwa program Liberalisasi di Indonesia dilakukan terhadap tiga bidang penting dalam ajaran Islam: 1)Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham Pluralisme Agama, 2)Liberalisasi bidang syari’ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan 3)Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al Qur’an.
Luar biasa memang usaha mereka dalam upaya me-Liberal-kan masyarakat Indonesia ini. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika paham-paham menyimpang tersebut telah menyerbu ke perguruan-perguruan tinggi Islam, khususnya IAIN atau UIN (Universitas Islam Negeri). Apalagi dengan dikirimnya para dosen UIN untuk melanjutkan pendidikan di McGill University menjadikan mereka telah mengubah metodologi dalam mempelajari Islam, sebagaimana yang telah diajarkan guru-guru mereka (para orientalis) di Barat. Dalam makalah Dr. Adian Husaini yang lain berjudul “Liberalisasi Pendidikan Tinggi“, dijelaskan bahwa peran pusat studi Islam di McGill Kanada yang didirikan oleh Prof. Wilfred Cantwell Smith dan Prof Dr. Harun Nasution dalam liberalisasi/westernisasi pendidikan Islam juga ditegaskan oleh Kementerian Agama melalui sebuah buku berjudul “Paradigma Baru Pendidikan Islam” tahun 2008 silam. Ditulis dalam buku tersebut “Melalui pengiriman para dosen IAIN ke McGill dalam jumlah yang sangat masif dari seluruh Indonesia, berarti juga perubahan yang luar biasa dari titik pandang tradisional studi Islam ke arah pemikiran modern ala Barat. Perubahan yang paling menyolok terjadi pada tingkat elit. Tingkat elit inilah yang selalu menggerakkan tingkat grass root”.
Nah, peran pemuda menyikapi kejadian tersebut adalah dengan menyiapkan diri secara matang terkait dengan pemahaman mendalam tentang Islam, sejarah, keemasan, dan sifatnya yang merupakan sistem hidup untuk mengatur segala kegiatan perikehidupan manusia. Menyadari bahwa sebagai makhluk ciptaan-Nya juga mempunyai kewajiban untuk patuh dan taat kepada aturan yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Mengatur melalui Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Indikator sederhana yang saya rumuskan untuk diri saya pribadi dalam menimbang sejauh mana “kejauhan” kita sebagai pemuda muslim, terhadap sistem Dien ini. Antara lain:
  1. Masihkah kita mengingat dan menghafal tentang rukun iman dan rukun islam kita,,??
  2. Bisakah kita membaca Al Qur’an dengan baik(jelas) dan benar(tajwid),,?
  3. Apakah kita melaksanakan sholat 5 waktu secara tepat waktu,,?? Atau jangan-jangan sholat wajib pun masih sering terlenakan :(
  4. Pernahkah menghafal 2, 5, atau 10 hadist Nabi,,?? Apakah kita mengamalkannya,,??
  5. Sudahkah membaca Sirah Nabawiyah yang menggambarkan perjalanan dari perjuangan Rasulullah dalam menegakkan Dienul Islam ini,,??
  6. Apakah kita memperhatikan tentang perintah-perintah Allah dalam Al Qur’an seperti menutup aurat, menahan pandangan, berbuat baik dan menjauhkan dari sikap riya’(pamer),,??
  7. Apakah kita mempelajari ilmu-ilmu Islam selain ilmu modern yang sekarang ini kita pelajari, misalnya Ushul Fiqh, Tafsir Hadist, dan cabang lain dari ilmu Islam yang seharusnya kita kuasai,,??
Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnnya, namun seperti yang telah saya ungkapkan di awal, ini merupakan indikat0r sederhana untuk melihat seberapa jauhnya diri kita sebagai pemuda muslim terhadap Dienul Islam.
Oleh karena itu, maka marilah kita bersama-sama menginstropeksi diri kembali. Sudah benarkah langkah yang kita tempuh selama ini. Kuncinya adalah kita harus mau belajar dan mau membaca terhadap segala apa yang mendekatkan diri kita kepada nafas kehidupan Islami. Mengingat firman Allah dalam Al Qur’anul Karim:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S Ali Imran 104)
Demikianlah ulasan awalan yang dapat saya sajikan. Semoga ada manfaatnya dan senantiasa hanya demi mengharap ridho-Nya Allah semata.


Pemuda.!!!
Pemuda adalah suatu umur yang memiliki kehebatan sendiri,menurut DR.Yusuf Qardhawi ibarat matahari maka usia muda ibarat jam 12 ketika matahari bersinar paling terang dan paling panas.Pemuda mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik dan semangat bila dibanding dengan anak kecil atau orang-orang jompo.Pemuda mempunyai potensi yang luar biasa,bisa dikatakan seperti dinamit atau TNT bila diledakan.Subhanallah.
Sejarah pun juga membuktikan bahwa pemuda berperan penting dalam kemerdekaan.Dimana saja,di negara mana saja kemerdekaan tak pernah luput dari peran pemuda.Karena pemudalah yang paling bersemangat dan ambisius memperjuangkan perubahan menuju lebih baik.Hasan Al Banna seorang tokoh pergerakan di Mesir pernah berkata,"Di setiap kebangkitan pemudalah pilarnya, di setiap pemikiran pemudalah pengibar panji-panjinya."Begitu juga dalam sejarah Islam,banyak pemuda yang mendampingi Rasulullah dalam berjuangan sperti Mushaib bin Umair ,Ali bin Abi tholib,Aisyah dll.Waktu itu banyak yang masih berusia 8,10 atau 12 tahun.Dan usia-usia itu tidak dapat diremehkan.Mereka punya peran penting dalam perjuangan.Maka dari itu jika ingin Indonesia menjadi lebih baik maka perbaikan itu yang utama ada di tangan pemuda,Perbaikan itu akan tegak dari tangan pemuda dan dari pemuda.
Pemuda mempunyai banyak potensi.Akan tetapi jika tidak dilakukan pembinaan yang terjadi adalah sebaliknya.Potensinya tak tergali,semangatnya melemah atau yang lebih buruk lagi ia menggunakan potensinya untuk hal-hal yang tidak baik misalnya tawuran dsb.
Sekali lagi ,pemuda adalah usia dan sosok yang hebat tapi tidak semua pemuda hebat . Pemuda yang hebat adalah pemuda yang B A B.:Apa itu B A B?

B.BERANI BERMIMPI DAN BERNIAT
Mana mungkin kita sebagai pemuda bisa maju jika bermimpi saja tidak berani.Impian adalah cita-cita maka beranilah bermimipi,bagaimana bisa dapat nilai sembilan dalam ujian praktek ,bila bermimipi angka sembilan ada di raport saja tidak berani, bagaimana bisa dapat nilai sembilan jika mimpinya (cita-citanya) hanya dapat 6.Kalau ingin dapat nilai sembilan maka impikanlah nilai sepuluh.Saya pasti bisa dapat 10.impikan saja,bayangkan saja 10 jangan 9,8 apalagi 5.Impian akan menimbulkan niat ,niat akan menimbulkan sikap,sikap akan menimbulkan usaha untuk mewujudkan cita-cita .Dan impian juga akan menimbulkan semangat ,semangat ibarat api yang akan memicu ledakan potensi yang luar biasa.Maka marilah kita miliki impian,obsesi dan ambisi istilah kerennya POENYA TASTE hehe sperti iklan aja.
Niat .Niat saja tidak berani bagamana bisa berbuat.Niat saja mulai sekarang ,tapi yang baik-baik.Sabda Nabi,"segala sesuatu itu tergantung niatnya.Pemuda harus punya niat. Niat menumbuhkan kesungguhan dalam beramal,keseriusan dalam berfikir serta keteguhan dalam menghadapi penghalang. Niat yang sempurna adalah niat karena Allah dengan landasan iman. Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist dari Umar bin Khatab bahwa barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya,barang siapa berhijrah untuk dunia yang ia cari atau wanita yang akan dinikahi maka hijrahnya untuk yang ia niatkan. Dengan niat karena Allah kita akan mendapat ridho-Nya Insya Allah.

A.ANDALKAN DIRI SENDIRI
Pemuda yang hebat bukan pemuda yang berkata,"Ayah ku polisi lho,jangan macam-macam sama aku" atau "ayahku kaya ,aku minta apa-apa pasti dituruti." Bukan seperti itu, tapi pemuda yang hebat dan berjiwa besar adalah pemuda yang berkata,"inilah diri" atau " menjadi diriku dengan segala kekurangan" kayak nasyidnya es coustic.Pemuda yang hebat adalah pemuda yang tidak menyombongkan prestasi ayahnya,pamannya,ibunya atau lain-lain. Mereka sadar,andaikata ayah mereka polisi mereka sadar yang polisi kan ayah bukan saya,klo ayah mereka pejabat yang berprestasi mereka sadar itu prestasi ayah buka saya,saya harus ciptakan prestasi sendiri.
Jadilah mereka pemuda yang mandiri, dengan kemandirian itu ia terpacu untuk tidak menggantungkan diri pada siapa pun kecuali Allah ,ia menjadi yang tangguh,ia berusaha memacu dirinya menjadi lebih baik dari hari ke hari sampai akhirnya ia bisa merubah lingkungannya. Ia menjadi pemuda yang percaya diri.

B.BERANI BERBUAT
Jika sudah punya mimpi dan percaya akan kemampuan sendiri maka yang berikutnya ialah siap action.Yup berbuat,berani untuk melakukan aksi-aksi perubahan.
Merubah diri sendiri dengan mengendalikan hawa nafsu,mencari ilmu, memperbaiki ibadah.Berani mencoba untuk sebuah kemenangan tanpa takut gagal.Ingatlah bahwa kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.Thomas alfa Edison berhasil menemukan bola lampu pada percobaan ke 14.000, berarti dia telah gagal dalam 13.999 percobaan,tapi dia tidak menyerah.Berani mencoba, bagaimana mungkin akan menang lomba lari jika mencoba mendaftar lomba saja tidak berani. Berani memulai. Memulai adalah hal yang sulit kata sebagian orang , setelah itu akan berjalan lancar.Maka kita harus berani memulai,walaupun sulit coba dulu,Insya Allah berikutnya berhasil.Mulai dari yang kecil ,ingin membersihkan Yogya dari sampah? mulailah dengan kita membuang sampah pada tempatnya.Tidak perlu ditunda-tunda mulai dari sekarang, tidak perlu menunggu orang lain mulai dari diri sendiri saja.
Berani beraksi adalah wujud konsisten kita pada apa yang kita yakini,kita impikan.Kita memimpikan Indonesia menjadi lebih baik maka berani beraksi untuk perbaikan tersebut sesuai dengan kreativitas kita adalah hal yang hebat. Dari yang kecil tidak masalah. Yang penting kita berani.Tatap dunia , hadapi, jangan bersembunyai, jangan hanya bicara tapi berbuat,beramal.Kita tunjukan bahwa kita pemuda , kita tidak diam tapi bergerak menuju perbaikan yang lebih baik.Bahwa kita tidak duduk, tapi kita berjuang.Talk less to do more.
Sahabat-sahabat kita adalah pemuda,masa depan negeri ada ditangan kita,Perubahan ada di tangan kita mari kita mencari ilmu ,membina diri dengan sekolah yang tekun ,ikut mentoring untuk memperkokoh keyakinan,ikut kajian kemudian membina fisik agar sehat dan kuat.Agar kita bisa mengelola dan merubah masa depan.
- See more at: http://www.dudung.net/artikel-islami/pemuda-dalam-perjuangan.html#sthash.eBwN0ZQx.dpuf

Senin, 01 Juli 2013

PENGERTIAN & HUKUM SUNGKEM


 Wujud (menyembah) itu memang hanya kepada Allah, bukan kepada orang tua. Lalu bolehkah kita sungkem? Atau adakah sujud yang bukan menyembah? Bagi yang terbiasa tidak sungkem, mungkin tidak mengapa, tetapi bagi orang yang terbiasa merendahkan dirinya dihadapan orang tua. Pada momen idul fitri, sungkem terasa sebagai berjuta bakti yang sulit diungkap dikarenakan sayang tak berhingga dari kedua orang tua kita. Memang sungkem adalah gerakan membungkuk kepada orang tua, sebagai wujud kerendahan seorang anak kepada orang tua, dan bukannya bersujud atau menyembah orang tua. Sebenarnya membungkukkan badan tidaklah dilarang. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah Al Israa ayat 24 Allah yang artinya:
Imam Irfa'i
 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
 Ternyata, Banyak orang mengira bahwa arti atau makna sungkem adalah sujud yang diidentikkan dengan menyembah, sehingga banyak orang yang berpikir bahwa sungkem itu adalah menyekutukan-Nya. Anggapan semacam itu tentu tidak benar, mengingat kisah dimana Nabi Yusuf pernah menaikkan kedua orang tuanya ke atas sebuah Singgasana dan menerima sujud dari kedua orang tuanya. Sujud disini tidak diartikan sebagai menyembah, melainkan suatu penghormatan. Kisah sujud yang tidak semata-mata menyembah terdapat dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 101 yang Artinya:
 “Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
 Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan sujud ibadah. Persoalan hubungan kepada Allah taala dan juga hubungan kepada orang tua sangat tegas dalam Al-Quran. Kita dituntut untuk berbuat baik kepada orang tua, bahkan kita disuruh merendahkan diri kita dihadapan mereka, kecuali jika kita disuruh menyembah orang tua.
 Sungkem dilakukan dalam posisi orang tua sedang duduk, sehingga jika si anak merendahkan diri tentunya dia harus melakukan jongok. Dalam hal ini, memang ada adat sungkem yang menggunakan sungkem secara berlebihan, dengan gerakan mirip “sembah” (kedua telapak tangan bertemu, diletakkan di atas kepala dan wajah), misalnya di kraton. Apabila gerakan itu memang ditujukkan untuk menyembah dan bukannya untuk sekedar menghormati, maka itu bisa dipastikan haram dan memang dilarang. Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 9 yang Artinya:
 “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
 Batasan antara menyembah dengan penghormatan tentunya bukan dilihat dan didefinisikan dari sebuah gerakan, melainkan dari niatnya. Gerakan menyembah di tiap agama, budaya, bangsa akan berbeda. Ada yang menyembah dengan bersujud, membakar dupa, berjongkok, berbaring, bahkan juga berdiri dll. Tentunya perbedaan antara menyembah dengan bukan menyembah, adalah terletak pada niatnya. Berbuat baik, patuh dan menuruti perkataan orang tua, tetapi tidak menyembah mereka juga tertulis dalam surah Al Isra ayat 24. Allah SWT menegaskan:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
 Sungkem adalah wujud kerendahan diri, bakti seorang anak kepada orang tua sebagaimana telah dibahas dalam surah Al Isra ayat 24 di atas. Allah menyuruh anak berbakti kepada orang tua agar supaya dijauhkan dari perbuatan sombong lagi durhaka. Sebagaimana firmannya dalam surah Maryam ayat 15 yang Artinya:
 Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”.
 Kesadaran untuk berbuat baik kepada mereka karena sesungguhnya orang tualah yang telah membesarkan dan merawat kita diwaktu kecil. Sebagai mana Allah SWT berfirman dalam surah As Syura ayat 16 yang artinya:
 ” Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
 Apapun penafsiran dan sangkaan manusia dalam setiap baik dan buruknya amalan kita, sesungguhnya bagi diri kita adalah bagaimana niat kita dalam menjalankan ibadah. Niat inilah yang membedakan antara menyembah ataupun menghormat, dan sesungguhnya Allah lah yang maha mengetahui segala sesuatu. Sebagai mana Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 37;
 “Dan kebanyakannya dari mereka, tidak menuruti melainkan sesuatu sangkaan sahaja, (padahal) sesungguhnya sangkaan itu tidak dapat memenuhi kehendak menentukan sesuatu dari kebenaran (iktikad). Sesunguhhnya Allah Maha Mengetahui akan apa yang mereka lakukan”



Niat inilah yang membedakan antara perbuatan baik dan buruk juga dijelaskan dalam kitab Riyadhus sholihin: Dari Amiril Mukminin-Abu Hafash-Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdillah bin Qurth bin Razah bin Ady bin Ka’ab bin Luayyin bin Gholib al-Qurasyi al-Adawi r.a. berkata:
 “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niatnya. Sesungguhnya tiap-tiap orang mempunyai sesuatu yang diniati (baik maupun buruk). Maka, barang siapa yang berhijrah (dari tempat tinggalnya ke madinah) untuk mencapai ridha Allah dan rasulNya (dan hijrah tersebut diterimaNya). Barang siapa yang hijrahnya untuk mencari harta dunia atau seorang perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya (bukan untuk mencapai ridha Allah dan Allah tidak menerimanya), tapi hijrahnya untuk tujuan hijrah itu sendiri,” (H.R. Muttaaq alaih).
 Sesungguhnya ridha orang tua kita adalah ridha Allah, sebagaimana hadits berikut :
 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu Hibban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari Sahabat dari sahabat Abdillah bin Amr dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ridha Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152))
 Berbakti Kepada Orang Tua Merupakan Sifat Baarizah (yang menonjol) dari Para Nabi. Dalam surat Ibrahim ayat 40-41: “Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanlah doaku.Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.”
 Kemudian dalam An Nahl ayat 19 tentang nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengajarkan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.”
 Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa bakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada orang tuanya. Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam amal adalah yang paling utama. Dengan dasar diantaranya yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dari sahabat Abu Abdirrahman Abdulah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu:
 “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amal-amal paling utama dan dicintai Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘pertama Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat diawal waktunya), kedua berbakti kepada kedua dua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah’.” [HR. Bukhari I/134, Muslim No. 85, Fathul Baari 2/9]
 Demikian semoga tulisan ini bermanfaat, agar kesalahpahaman antara sungkem yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai penghormatan, tidak dipandang keliru oleh budaya lainnya. Mohon maaf semoga dengan penjelasan ini tidak ada yang salah sangka.
 Dan semoga Allah Swt senantiasa memberikan taufiq agar kita dapat selalu terjaga untuk melakukan ibadah yang dicintai-Nya

Rabu, 15 Mei 2013

Photo Keluarga Besar Rayhan Imam



KELUARGA BESAR  IMAM MUSIDI


Imam Musidi dengan cucunya





Ibu q Sumizah dengan cucunya





Ibu q
Ibu Sumizah

Bpk. Imam Musidi & anak Ragil Imam Irfa'i
Imam Muchani, SH. M.H.I (Ka2k no 5)



Imam Muchani, M.H.I & Imam Irfa'i, S. Kom.I
















RoMi
Lisa Eva Yanti (Keponakan)

Mbk Endang Sulistiyawati, S.P (Menantu)




   
Amelia (Keponakan)
Rani Agustina

Siti Aminah (Menantu)

Agus Pujianti (Menantu)

Nurmawati (mbak no  ke 4)     

















































Deni Susanto (Keponakan)





Eko Sujatmiko ,Ama. Pd. Or   (Kakak No 3)























Rizki dari Allah

Photo Rayhan Imam

Manusia diwajibkan untuk berusaha mencari penghidupannya, mengais kepingan rizki dari Allah sembari memohon barokah atas rizki tersebut. Sekalipun buku langit sudah menuliskan batasan rizki tiap manusia, limpahan rahmat itu tidak akan turun dengan sendirinya bila tidak diusahakan. Semua adalah rahasia dan urusan Allah, sebagaimana jodoh dan mati. Berdoa tanpa berusaha hanya sia-sia karena tiada perubahan tanpa upaya. Yang paling benar adalah bertawakal, yaitu menyerahkan semuanya kepada Sang Pemberi Hidup setelah semua upaya dikerahkan.
Hidup ini episodik, saya yakin sekali beruas-ruas seperti bambu, tidak lurus mulus seperti sebatang tiang pancang beton. Ruas-ruas tersebut dipenuhi dengan pergiliran kehidupan antara kesempitan dan kelapangan. Saya meyakini hal ini, karena Allah menyebutkannya dalam sepotong ayat dalam QS. Al-Insyirah 5 – 6 … faa innama’al usri yusraan, innama’al usri yusraan ... sebuah kalimat yang sama diulang dua kali berturut-turut. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, setelah kesulitan ada kemudahan.
Sekalipun tidak ada janji bahwa setelah ada kemudahan akan ada kesulitan, kita harus paham bahwa kesulitan pasti akan muncul sebagai kodrat kehidupan manusia. Setiap jengkal langkah kita untuk maju, dan berupaya menjadi insan kamil, pasti akan dihadang kesulitan. Kesulitan yang terbesar sebenarnya berada di dalam pikiran, bukan di luar diri kita. Bila terbiasa dengan harta yang cukup, ketika hilang sebagian kesedihan langsung menyergap. Padahal secara objektik sisa harta yang dimiliki masih jauh lebih banyak daripada milik seorang buruh pabrik. Sewaktu kehilangan kekasih, dunia seakan runtuh dan ingin mengakhiri hidup, padahal jodoh adalah urusan Allah. Ketika di PHK, ingin rasanya membunuh sang Manajer Personalia, padahal jalan rizki masih terbentang lebar asal dicari dengan sungguh-sungguh.
Saat menjalani kehidupan, tenggelam dalam sebuah episode kehidupan, saya kerapkali lupa bahwa saya sedang berada dalam sebuah episode. Bila tengah gembira, seolah lupa bahwa tiba-tiba Allah bisa menumbangkan kegembiraan itu ke jurang kesedihan. Bila sedang berduka, pesimis akan ada waktu lain untuk bangkit dan kembali bergembira. Manusia lebih mudah mengenali dukanya daripada gembiranya. Ketidak sedang berduka, terasa sekali keinginan untuk mengakhirinya dan untuk itu selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebaliknya, tatkala sedang bahagia, orang cenderung lupa bahwa perjalanan hidup di dunia ini semuanya nisbi. Tidak ada yang mutlak.
Kita pasti masih ingat berbagai wacana tentang orang-orang yang didakwa terlibat dalam gerakan PKI dan dipenjara tanpa pengadilan yang jelas. KTP mereka diberi tanda dan keluarga mereka secara otomatis terimbas stigma tahanan politik, dijauhi orang, dan tidak bisa memperoleh penghidupan sebagaimana orang lain pada umumnya. Setelah kejatuhan rezim Suharto, barulah kondisi berubah. Sementara Allah Swt meniadakan dosa turunan, mengapa manusia menciptakan aturan baru tentang dosa orang tua?
Kita juga belum lupa, bagaimana pejabat sipil, petinggi militer, anggota parlemen, menjadi impian bagi kebanyakan pemuda. Bukan mengimpikan untuk mengabdi kepada bangsa dengan benar, tetapi memperoleh harta dunia yang memabukkan. Pekerjaan di lembaga keuangan seperti BI, pajak dan bea cukai, industri strategis seperti Pertamina dan PLN, semuanya menggiurkan karena dianggap “basah”. Sekarang, berlandaskan itikad Pemerintah untuk menegakkan aparat yang bersih, KPK mengasah taring dan taji memberangus para tersangka korupsi. Era kegemilangan para benalu bangsa sudah mulai memudar.
Karena hidup ini adalah pergiliran, episodik seperti ruas-ruas bambu, sudah selayaknya bila kita tidak pernah lupa untuk bersyukur pada tiap jengkal rizki Allah. Kita dipersilakan untuk melakukan shalat Dhuha bila ingin kelimpahan rizki Allah, dan bayangan kita adalah gumpalan emas atau timbunan uang. Tapi, saya juga pernah membaca, seharusnya yang kita minta dalam shalat Dhuha adalah barokah rizki. Rizki tentunya semua hal yang datang kepada kita, kita duga maupun tidak, namun tidak semuanya barokah. Bila seseorang tidak pernah merasa cukup dengan rizki yang diterimanya, waspadalah dengan kebarokahan rizki yang diperolehnya. Barokahnya rizki membuat perasaan kita senang, sepiring nasi, sayur kangkung, dan sepotong tempe goreng membuat kita gembira, terlebih ketika anak-anak kita tersenyum ketika memakannya.
Kepedihan dan derita yang kita alami dalam kehidupan pasti bukan kebetulan. Seorang bijak mengatakan, tidak ada kebetulan dalam hidup ini. Semua sudah diatur dan menjadi bagian dari riwayat kita. Orang Barat mengatakan: what can not kill you will make you stronger. Saya pribadi mengatakan, Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya, sekalipun mungkin dalam bungkus terburuk dan terpahit. Semua pengalaman yang tidak menyenangkan hanya akan meningkatkan imunitas tubuh kita.
Kalau sekarang kita sedang dalam kesulitan dan kesusahan, jangan bersedih, sebab pada saatnya nanti kita akan diberikan kegembiraan. Mungkin 1 tahun atau mungkin 3 tahun lagi, kita bisa bercerita pada orang lain bagaimana kita bisa bertahan dan menasihati mereka cara menyelesaikan masalah serupa itu.
Kalau sekarang kita sedang di puncak kegembiraan, tetap ingat bahwa jurang lebar penderitaan siap memakan kita tanpa ampun. Semakin kita lupa, lebih sakit rasa jatuh nanti. Kalau kita waspada, insyaallah kita bisa mempersiapkan perasaan ketika harus jatuh. Hidup ini bukan soal seberapa kuat kita menahan kejatuhan, karena cepat lambat akan terjadi. Tapi, bagaimana kita bangkit dan berjalan lagi setiap kali jatuh.
Sebagai penutup mari simak bunyi QS. Al-A’raf ayat 96: “Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka medustakan (ayat-ayat itu), maka Kami sika mereka disebabkan perbuatannya”.
Semoga bangsa ini memang sedang menuju ke arah kedewasaan, meninggalkan segala kemungkaran karena menemukan cahaya kebenaran. Lalu, nestapa yang kita alami sekarang ini kemudian hanyalah sepenggal episode yang akan kita kenang dengan manis beberapa tahun mendatang. Insyallah

Rabu, 27 Maret 2013

setiap hari sebanyak seratus kali



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تُوْبُوا إِلَى اللَّهِ تَعاَلَى فَإِنِّي أَتُوْبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ -البخاري في أدب المفرد

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali”. (Riwayat Al Bukhari dalam Adab Al Mufrad dan dihasankan oleh Al Hafidz As Suyuthiy)

Al Hafidz Al Ala’iy menjelaskan bahwa maksud taubat di hadits itu adalah taubat istighfar, yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam banyak melakukannya. 
Imam Al Ghazaliy menjelaskan bahwa bentuk taubat itu bertingkat-tingkat sesaui dengan kondisi keimanan pelakunya. Bertaubatnya orang kebanyakan dalah bertaubat dari dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sedangkan taubatnya orang shalih adalah taubat dari kelalaian hati. Dan taubat bagi orang-orang yang mencapai derajat keshalihan yang cukup tinggi (khawwas al khawwas) adalah istighfar dari perhatiannya terhadap selain Allah Ta’ala, karena kata “dzanbun” (dosa) secara bahasa bermakna derajat lebih rendah seorang hamba. Dengan demikian, setiap derajat keimanan memiliki taubat sendiri, hingga dengan taubat derajat keimanan dan derajat pertaubatan semakin meningkat.

Imam Al Munawiy menjelaskan bahwa ada perbedaan penyebutan jumlah taubat dalam hadits ini dan hadits lainnya yang menyebutkan 70 kali, namun itu semua cermin banyaknya istighfar bukan pembatasan jumlah istighfar yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (lihat, Faidh Al Qadir, 3/361,362).

Jika Rasulullah Shallallallahu Alalihi Wassallam perbanyak istighfar dalam setiap harinya, begaimana dengan kita “bangsa awam” yang banyak dosanya?



Rayhan Imam

Rabu, 03 Oktober 2012

Islam di Indonesia


PENDAHULUAN
Islam merupakan salah satu agama yang masuk dan berkembang di indonesia. Hal ini tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi kita, karena di mass media mungkin kita sudah sering mendengar atau membaca bahwa indonesia adalah negara yang memiliki penganut agam islam terbesar di dunia.
Agam islam masuk ke indonesia dimulai dari daerah pesisir pantai, kemudian diteruskan kedaerah pedalaman oleh para ulama atau penyebar ajaran ajaran islam. Mengenai kapan islam masuk ke indosesia dan siapa pembawanyaterdapat beberapa teori yang mendukungnya.

1.A. proses masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan islam di indonesia
Proses masuk dan berkembangnya agama islam di indosesia menurut Ahmad Mansur suryanegara dalam bukunya yang berjudul”menemukan sejarah” ,terdapat tiga teori yaitu teori gujarat, teori makkah dan teori persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalahan waktu masuknya islam ke indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama islam ke nusantara. Teori-teori tersebut adalah:
1. Teori Gujarat 
Teori ini berpendapat bahwa agama islam masuk ke indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari gujarat (cambay), india. Dasar teori ini adalah:
a. Kuragnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa arab dalam penyebaran islam di indonesia. 
b. Hubungan dagang indonesia dengan india telah lama melalui jalur indonesia-cambay-timur tengah-eropa.
c. Adanya batu nisan sultan samudera pasai yaitu malik Al-Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat. Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Viekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik islam yaitu adanya kerajaan samudera pasai. Hal ini juga bersumber sari keterangan marcopolo dari venesia(italia) yang pernah singgah di perlak(perureula) tahun 1292. ia enceritakan bahwa di perlak sudah banyak penduduk yang memeluk islam dan banyak pedagang islam dari india yang mentebarkan ajaran islam.

2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang uncul sebagai sanggahan terhadap teori islam yaitu teori Gujarat. Teori makkah berpendapat bahwa islam masuk ke indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari arab(mesir). Dasar teori ini adalah : 
a. pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat sumatra sudah terdapat perkampungan di kanton sejak abad ke 4. hal ini juga sesuai dengan berita cina.
b. Kerajaan samudera pasai menganut aliran mazhab syafi’i, dimana pengaruh mazhab syafi’i terbesar pada waktu itu adalah mesir dan akkah. Sedangkan Gujarat atau india adalah penganut mazhab hanafi.
c. Raja-raja samudera pasaio menggunakan gelar Al-Malik, yaitu gelar tersebut berasal dari mesir. Pendukung teori makalah ini adalah hamka, van leur dan T.W Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyataka bahwa abad 13 sudah berdiri kekuaaan politik islam, jadi masuknya ke indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad 7 dan yang berperabn besar terhadap proses penyebarannya adalh bangsa arab sendiri.

3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa islam masuk ke indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari persia (iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya persia dengan budaya masyarakat islam indonesia seperti:
a. peringatan 10 Muharrom/Asyura atas meninggalnya hasan dan husen cucu nabi muhammad, yang sangat di junjung oleh orang syi’ah / islam iran.
b. Kesamaan ajaran sufi yang di anut syekh siti jennar dengan sufi dari iran yaitu Al-Hallaj.
c. Penggunaan istilah iran dalam sistem mengeja huruf arab untuk tanda-tanda bunyi harakat.
d. Di temukannya makam maulana malik ibrahim tahun 1419 di Gresik.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa islam masuk ke indonesia dengan jalan damai pada abad ke 7 dan mengalami perkembanganya pada abad 13 sebagai penegang peranan dalam penyebaran islam adalah bangsa Arab, Persia dan Gujarat(india). 

2.B. Wujud akulturasi kebudayaan indonesia dan kebudayaan islam 
Sebelum islam masuk dan berekembang, indosesia sudah memiliki corak kebudayaan yang di pengaruhi oleh agama hindu dan budha. Dengan masuknya islam, indonesia kembali mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua(lebih) kenudayaan karena percampuran bangsa-banga dan saling mempengaruhi), yang meluruskan kebudayaan baru yaitu kebudayaan islam indonesia.
Masuknya islam tersebut tidak berarti kebudayaan hindu dan budha hilang. Bentuk budaya sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat indonesia. Untuk lebih mamahami wujud budaya yang sudah mengalami proses akulturasi pemakalah sedikit memberi uraian berikut ini.yait; 
1. Seni bangunan
Wujud akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, istana.
2. Seni rupa 
Tradisi islam tidak menggambarkan bentuk manusia/hewan. Seni ukui relief yang menghias masjid, makam islam berupa saluran tumbuh-tumbuhan namun terjadi pula sinkretisme, agar dapat keserasian. 
3. Aksara dan seni sastra 
Tersebarnya agama islam ke indonesia maka berpengaruh terhadap bidang akasara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai mengenal tulsan arab, bahkan berkembang tulisan arab melayuatau biasanya dikenal dengan istilah arab gundul yaitu tulisan arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a,i,u seperti laszimnya tulisan arab. Disamping itu juga, huruf arab berkembang menjadi seni kaligrafiyang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran. Sedangkan dalan seni sastra yang berkembang pada awal periode islam adalah seni sastra yang berasal dari perpaduan sastra pengaruh hindu-budha dan sastra islam yang banyak mendapat pengaruh persia.
Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut terlihat dari tulisan atau aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf arab melayu(arab gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang berkembang pada jaman hindu. 

3.C. Integrasi bangsa indonesia 
1. Pengertian Nation dan Negara Indonesia
JIika kita mendengar atau membaca istilah nation indonesia dan negara indonesia. Apakah terlintas dalam pikiran kita bahwa keduanya memiliki pengertian yang sama? Pada dasarnya antara nation indonesia maupun negara indonesia memiliki pengertian yang berbeda. menurut Ernest Renan, Nation adalah suatu kesatuan solidaritas, kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang saling merasa setiakawan satu sama lain, tetapi nation tidak bergantung pada kesamaan asal ras, suku bangsa,agama ataupun hal-hal lain yang sejenis, karena nation hanyalah merupakan suatu kesepakatan bersama. Untuk itu yang dimaksud dengan nation indonesia adalah kesatuan solidaritas yang didasarkan atas perasaan kebangsaan indonesia, yang berkehendak untuk hidup bersama ditanah air indonesia sebagai suatu bangsa. 
Sedangakan pengertian dari negara indonesia yaitu suatu organisasi politik, suatu struktur politik dimana para warga negara adalah anggota dari organisaasi politik besar tersebut. Keanggotaan dalam organisasi negara atau kewarganegaraan di atur oleh aturan hukum, jadi undang-undanglah yang menyatakan apakah seseorang adalah warga negara indonesia atau bukan.
Dari penjelasan tersebut di atas dapatlah dibedakan antara keduanya yaitu dalam negara indonesia, kesatuan solidaritasnya berpedoman pada undang-undang atau terikat pada hukum. Sedangkan dalam nation indonesia, kesatuan solidaritasnya hanya didsarkan pada perasaan kebersamaan atau rasa solidaritas kebangsaan indonesia.
2. Kemajemukan Masyarakat Indonesia 
Sebagai warga negara indonesia tentu kita memahami bahwa masyarakat indonesia beranekaragam atau dikatakan sebagai masyarakat majemuk atau plural. Istilah masyarakat indonesia majemuk pertama kali diperkenalkan oleh furnivall dalam bukunya 
Netherlands india, A study of Plural Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat indonesia yang terdiri dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit berkata dalam satu kesatuan sosial politik, kemajuan masyarakat indonesia ditunjukkan oleh struktur masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam bebagai hal.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kemajemukan indonesia tampak pada perbedaan warga masyarakat secara horizontal yang terdiri atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adatdan perbedaan-perbedaan kedaerahan.Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun-temurun. Untuk itu ras yang hidup di indonesia antar lain ras melayu mongoloid, weddoid, dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa atau etnis yang tersebar di indonesia sangatlah beranekaragam, dan menurut Hilldred Geertz di indonesia terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan identitas kebudayaan yang berbeda.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi, indah apabila ada kesadaran untuk senantias menciptakan dan menyukai keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui integrasi. 
3. Proses Integrasi Bangsa Indonesia
Menurut Hendropuspito oc dalam bukunya “ Sosiologi Sistematik”istilah integrasi berasal dari kata latin integrare yang berarti memberikantempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata tersebut maka menurunkan kata integritas yang berarti keutuhan atau kebulatan dan integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Secara umum integrasi diartikan sebagai pernyataan secara terencana dari bagian-bagian yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi.
Kata integarasi berkaiotan erat dengan terbentuknya suatu bangsa, karena suatu bangsa terdiri dari berbagai unsur seperti suku/etnis, ras, kepercayaan dan sebagainya, yang beranekaragam. Untuk itu integrasi suatu bangsa terjadi karena adanya perpaduandai berbagai unsur tersebut, sehingga terwujud kesatuan wilayah, kesatuan politik, ekonomi, sosial maupun budaya yang membentuk jati diri bangsa tersebut. Integrasi bangsa tidak terjadi begitu saja, tetapi memerlukan suatu proses perjalanan waktu yang panjang yang harus diawali adanya kebersamaan dalam kehidupan. Kebersamaan tersebut memiliki arti yang luas yaitu kebersamaan hidup, kebersamaan pola pikir, kebersamaan tujuan dan kebersamaan kepentingan.
Dengan demikian integrasi suatu bangsa dilandasi oleh cita-cita dan tujuan yang sama, adanya saling pendekatan dan kesadaran untuk bertoleransi dan saling menghormati. Demikian pula untuk integrasi bangsa, mengingat indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan memiliki keanekaraganan budaya. Maka sangat memerlukan proses integrasi, karena dampak dari kemaemukan ini sangat potensial terjadinya konflik/pertentangan. Kecenderungan terjadinya konflik di indonesia sangatlah besar, untuk itu hendaknya setiap warga masyaraakat si indonesia harus menyadari dan mempunayi ciyta-cita bersama sebagai bangsa indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
G. Moedjanto, Negara dan nasionalisme indonesia, PT. Grasindo, jakarta,1995
R. Soekmono, Sejarah Kebudayaan Indonesia 3, Kanisius, Yogyakarta, 1985 
Nugroho Notosusanto, dkk, Sejarah Nasional Indonesia 111, Depdikbud, jakarta, 1992
Sardiman A.M. dan kusriyantinah, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum, kendang sari, Surabaya, 1995.
Harsya W. Bachtiar, Integrasi Nasional Indonesia, jakarta, 1995