Minggu, 12 April 2015

MENIKAH JANGAN ASAL-ASALAN

Rayhan Imam , S. Kom. I


Rayhan Imam 
Ini hanya berdasarkan cerita banyak orang tua yang saya jumpai. Menurut mereka, orang dulu tidak membutuhkan perkenalan yang intens sebelum memutuskan untuk menikah. Bahkan, dalam banyak kasus, antara mempelai laki-laki dan perempuan baru bertemu sesaat sebelum akad. Pertanyaannya; mengapa mereka yang pernikahannya tanpa proses “pacaran” itu justru bisa langgeng, harmonis, beranak-pinak, dan tetap setia plus romantis sampai kakek-nenek? Jawaban yang saya peroleh; ternyata manusia adalah makhluk yang paling mudah untuk beradaptasi.
            Manusia tanpa perkenalan sekalipun sebenarnya mampu untuk menjalin ikatan suci bernama pernikahan. Justru ketika kondisi tersebut berangkat dari niatan yang murni, menjadikan rumah tangga benar-benar manis dan romantis. Pasalnya, di awal pernikahan pasti ada kecanggungan-kecanggungan. Kecanggungan itu tentu saja tidak berjalan dalam waktu yang lama. Seminggu dan seterusnya menjadi biasa dan akhirnya begitu akrab dan intim. Kisah awal pernikahan itu yang kemudian menjadi berkesan dan sangat indah untuk diceritakan kemudian.
            Lain dulu lain sekarang. Kebiasaan lama yang sebenarnya baik dan ideal menjadi lain ceritanya untuk konteks saat ini. Sekadar berkaca saja, saat ini banyak orang tua yang membolehkan anaknya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Sayangnya, tidak banyak orang tua yang mendukung anaknya untuk menikah dibanding hanya sekadar pacaran dan model hubungan lainnya. Padahal tidak ada jaminan semakin lama berhubungan (pra pernikahan) semakin lama pula durasi pernikahan. Kita saksikan secara mudah, mereka yang berpacaran 5-10 tahun, ternyata usia pernikahannya hanya 5-10 bulan saja. Na’ūdzubilLāh…
            Selain itu, logika yang digunakan juga tidak tepat. Banyak orang yang ketika sebelum menikah begitu mesra dengan pasangannya. Padahal hal itu sama sekali tidak ideal bahkan dilarang. Selanjutnya, ketika mereka sampai pada pernikahan, kemesraannya justru luntur dan menghilang. Menggandeng isteri terasa canggung. Mengecup kening isteri sebelum berangkat kerja terasa aneh. Sementara yang demikian itu bagi orang menikah tiada lain adalah pahala dan kebaikan. Sebab pernikahan adalah media yang mengonversi banyak hal yang awalnya berimplikasi dosa menjadi berpahala.
            Dari situlah, saya menaruh rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada mereka berhasil menikah tanpa “pacaran” terlebih dahulu. Mereka yang ketika suka dengan seorang perempuan, dengan percaya diri dan yakin mendatangi walinya. Mereka menyatakan diri siap untuk menikahi perempuan tersebut dengan segenap konsekuensinya. Mereka begitu yakin dengan Indahnya Pacaran setelah Pernikahan seperti judul buku Salim A. Fillah itu. Hal itu tentu bukanlah pilihan yang mudah. Tetapi bagi saya pribadi justru itulah yang lebih baik dan ideal untuk lebih menjaga diri dan melatih kedewasaan.
Menikah adalah Pilihan
            Menikah memang bukanlah perkara yang sederhana. Begitu banyak “masalah” yang harus dituntaskan oleh seorang yang akan menikah. Pasalnya, pernikahan bukan sekadar urusan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Pernikahan adalah pertemuan dua rombongan akbar, keluarga besar laki-laki dan perempuan. Dalam konteks itulah, kalau tidak disiasati dan dihikmati, pernikahan menjadi sangat kompleks. Selain hal tersebut, karena pernikahan adalah ikatan suci yang hanya diharapkan sekali saja terjadi dalam hidup ini. Karena itulah, menikah memang tidak semudah yang dibayangkan.
               Ada buku yang sangat menarik berjudul Udah Putusin Aja! Awalnya saya bertanya-tanya; mengapa tidak Udah Nikahin Aja! saja judulnya? Saya baru menemukan jawabannya setelah membaca secara tuntas buku tersebut. Penulis buku tersebut memaparkan bahwa untuk sampai pada pintu pernikahan tidaklah simpel. Ada yang sudah siap tapi belum juga mendapat restu dari orang tua. Ada lagi yang sudah ngebet tapi tak juga memperoleh izin dari calon mertua. Lainnya, sudah siap lahir-batin, sudah dapat restu dan ridha dari orang tua, eh belum punya calon isterinya. Inikah yang dinamakan musibah?
Melihat betapa tidak sederhananya seorang yang sudah berpacaran untuk menikah maka penulis buku tersebut menganjurkan untuk: Udah Putusin Aja! Dengan begitu justru lebih aman dan menyelamatkan. Sebab, pacaran itu—menurutnya—tidak menjadikan kita dewasa tetapi hanya menjadikan kita beradegan dewasa. Di titik itulah, dia menyarankan untuk menyudahi pacaran kalau memang belum siap untuk menikah. Karena pernikahan yang baik tidak harus dengan pacaran dahulu. Bagi yang terlanjur punya hubungan khusus, dan tidak mau “putusan”, pilihannya hanya satu yaitu menikah!
            Memang, kalau berbicara tentang pernikahan senantiasa menarik dan unik. Tetapi pada akhirnya menikah adalah sebuah pilihan. Semuanya tergantung apa yang menjadi niatan kita dalam menikah tersebut. Kalau tekadnya sudah bulat, niatnya sudah tulus, Allah-lah yang akan membukakan jalannya. Bagi yang sudah benar-benar berkeinginan untuk menikah disarankan untuk membayangkan betapa indahnya pernikahan. Pernikahan menghantarkan kepada keridhaan Allah dan menghindarkan diri dari kemaksiatan. Dengan begitu, bayangan konsekuensi menikah yang memang tidak mudah itu menjadi tertutupi.
            Menancapkan mindset yang tepat sangatlah penting. Katakanlah seorang sudah mendekati pintu pernikahan. Tetapi yang dia bayangkan adalah banyak hal negatif tentang pernikahan. Tentu saja pernikahan justru menjadi bumerang baginya. “Bagaimana nanti kalau banyak yang tidak suka dengan pernikahan saya?” bisiknya dalam hati. “Bagaimana kalau nanti punya anak, gimana ngurusnya?” bisiknya lagi. “Kalau orang tua tidak lagi memberikan kiriman rutin, terus gimana?” pungkasnya, menakuti dirinya sendiri. Pelbagai teror yang dimunculkannya sendiri itu pasti akan mengubur dalam-dalam keinginan mulianya untuk menikah.
            Perlu ditegaskan kembali bahwa ketika memang ingin menikah maka sebaiknya membuang jauh-jauh pikiran negatif. Justru yang perlu dibayangkan adalah keindahan, keromantisan, kehangatan, kebaikan, kebahagiaan, ketenangan, dan kasih sayang yang lahir dari pernikahan tersebut. Tentu semuanya tidak hanya terhenti dalam bayangan hampa. Hal itu kemudian diikuti dengan langkah cerdas untuk lebih memantapkan diri. Kemantapan diri tentu meliputi kesiapan lahir dan batin. Kalau pijakan awalnya lurus maka langkah selanjutnya akan dimudahkan oleh Allah. Itu adalah janji-Nya dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
            Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa pernikahan adalah sebuah pilihan. Pilihan tidak sekadar pilihan karena di balik itu ada tanggung jawab dan konsekuensi. Siap menikah berarti siap untuk melangkah bersama dengan pasangan hidup, susah-senang bersama, pahit-manis dijalani berdua. Semuanya akan terasa indah kalau apapun itu dikembalikan kepada niatan awal pernikahan. Semuanya memang karena Allah. Awalnya kita bukan siapa-siapa lalu diberikan amanah oleh Allah untuk membina rumah tangga. Itu artinya Allah percaya kepada kita. Jika kita lurus dan mantap maka Allah yang akan menggenapinya. In syā Allah
            Seorang dosen yang sangat perhatian dengan mahasiswanya memberikan nasihat kepada saya. Menikah itu, ujarnya, hanya butuh 3S (bukan S3). S yang pertama; Siap menjadi orang tua. Sebab cepat atau lambat, pernikahan akan menghasilkan anak keturunan. Mereka yang menikah harus siap untuk menjadi orang tua bagi anak-anaknya. S yang kedua; Siap mengalami perubahan, dari awalnya sendiri menjadi berdua. Bangun dari tidur suasananya sudah lain. Awalnya hanya ditemani bantal-guling, sekarang bersama isteri tercinta. S yang terakhir; Siap menerima pasangan hidup apa apanya. Itu juga tidak mudah.
            3S tersebut sebenarnya sangat ideal untuk menjadi bekal mereka yang memilih jalan dakwah dengan menikah. Rumah tangganya menjadikan dia lebih kuat dalam menjalani huru-hara kehidupan. Pasangan hidupnya menjadi teman setia untuk bersama-sama meraih keridhaan Allah. Kerikil yang menghalang itu biasa karena hidup tidak pernah lepas dari cobaan. Justru karena berdua itulah menjadi lebih waspada dan teliti. Salah satunya dihadapkan dengan masalah, lainnya memotivasi dan membatu menyelesaikan. Ringkasnya, jika demikian konsepnya maka pilihan menikah menjadi sangat indah dan berkah.
Saling Menggenapi
            Ketika kabar tentang hari dan tanggal pernikahan saya tersiar, berdatanganlah apresiasi dan komentar. Diantaranya, misalnya, “Enak nih kalau nanti sudah nikah. Ada yang masakin, ada yang nyuciin, ada yang nyetrikain…” Dari situ saya berpikir dalam-dalam. Benarkah isteri itu tidak lebih laksana “pelayan”; juru masak, tukang cuci, dan tukang setrika? Mungkin ada benarnya, karena ketika seorang isteri melakukannya dengan tulus bernilai kebaikan baginya. Tetapi bukanlah lebih indah dan juga memuliakan perempuan ketika suami juga membantu meringankan kewajiban isteri? Semua memang pilihan.
            Hidup bersama berarti juga siap untuk bersama-sama melakukan banyak hal yang berharga. Kebersamaan itu bukan untuk mencari siapa yang lebih berarti tetapi untuk saling melengkapi dan menggenapi. Sudah maklum bahwa pernikahan adalah kombinasi dua insan yang berbeda, dengan karakter dan kepribadian yang berbeda pula. Dengan begitu, dibutuhkan keterbukaan sikap untuk saling menerima dan memaklumi kemudian duduk bersama untuk berbagi dan saling memberi masukan. Itulah hakikat dari kebersamaan. Bersama untuk saling mengedepankan sisi baik dan bersama-sama pula menutupi celah dan aib.
            Biduk rumah tangga dibangun untuk membentuk rumah bahagia di dunia. Itulah mengapa dahulu Rasulullah bersabda: “Baitiy jannatiy (rumahku adalah surgaku).” Suasana surga itu akan tercipta tatkala suami isteri bisa melangkah seiring-sejalan. Kesuksesan suami adalah juga kesuksesan isteri, begitupun sebaliknya. “Di balik lelaki yang sukses ada wanita yang mendampinginnya dan dia adalah isterinya,” begitu nasihat orang bijak. Konsep saling menggenapi itu berarti memaksimalkan potensi masing-masing untuk kemudian bersatu menuntaskan misi yang sudah dirancang.
Berjuang dalam Dakwah
            Saya sangat senang dengan sebuah nasihat yang bunyinya berikut ini. “Pernikahan hendaknya tidak hanya dilakukan untuk menaati syariat Islam tetapi lebih dari itu untuk mendakwahkan Islam.” Inilah yang sebenarnya menjadi PR bersama, tegasnya PR rumah tangga saya. Pernikahan memang harus diproyeksikan kepada sesuatu yang lebih bermakna, lebih berharga, lebih bermartabat, dan nilai gunanya lebih luas dan lama. Menikah hanya untuk kepentingan pribadi memang tidak salah tetapi sangat minim sekali faidahnya. Pernikahan yang dilakukan untuk mendakwahkan Islam itulah yang kemudian sangat luar biasa.
            Dalam rangka memulainya diawali dengan komitmen bersama bahwa dengan menikah berarti melanjutkan dahwah dalam formasi yang lebih ideal. Pernikahan harus diupayakan sedemikian rupa untuk dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi yang lain. Itulah hakikat dakwah. Tidak harus dengan kata-kata tetapi cukup dengan perwujudan kata tetapi sangat dahsyat pengaruhnya. Selain itu, dengan menikah kita juga menyadari bahwa pasangan hidup bukan semata milik kita. Tetapi boleh jadi pasangan hidup kita adalah milik umat yang sewaktu-waktu kita harus rela melepasnya mengabdi untuk kemaslahatan umat.
            Banyak yang kemudian berkomentar miring. “Nikah muda nanti malah putus studinya. Apa-apa menjadi terbatasi…” Komentar tersebut boleh jadi benar karena pasti banyak fakta yang memang demikian. Tetapi kalau hal itu yang banyak digaungkan maka akan memupuskan keinginan mulia mereka yang akan menikah. Pada purnanya, pernikahan bukanlah penghambat untuk terus maju dan berkembang. Pernikahan tidak kemudian membatasi aktivitas dahwah, berjuang mensyiarkan panji-panji Islam. Dengan menikah, batin menjadi lebih terarah, sehingga karenanya bisa lebih mantap dan fokus dalam dakwah.
            Kehidupan ini secara universal sebenarnya wahana bagi setiap insan untuk terus berjuang di jalan Allah. Saya katakan bahwa dakwah sangatlah penting. Banyak yang kemudian bertanya: apakah semua orang harus menjadi penceramah? Tentu saja tidak, karena dakwah itu makna dan penjabarannya sangat luas. Penceramah yang menyampaikan tausyiahnya di atas mimbar hanyalah sebagian dari dakwah itu sendiri. Dan menjadi penceramah juga termasuk pilihan bagi seorang yang ingin berdakwah. Oleh karena itu, sebenarnya kalau direnungi bersama dakwah adalah bagian integral dari universalitas kehidupan kita.
            Pernikahan dalam konteks itulah sebenarnya benar-benar menjadi perantara untuk mengepakkan sayap dakwah. Sebagai contoh, mereka yang awalnya sendiri mungkin masih sering lirik kanan-kiri. Ketika berdakwah, bertemu dengan wanita yang berparas cantik mungkin sudah lain ceritanya. Tetapi ketika sudah menikah in sya Allah akan lebih murni dan lurus tujuannya. Sebab, isteri di rumah bagaimanapun tetaplah yang paling cantik. Itu artinya tidak perlu lagi lihat yang lain. Dengan begitu dakwah tentu saja menjadi lebih mantap. Pernikahan memang bukan jaminan tetapi Islam memang mengajarkan demikian untuk menjaga pandangan.
            Selanjutnya, kembali kepada masing-masing yang menjalani. Akan dibawa kemana mahligai rumah tangga yang sudah terjalin. Pilihan untuk terus dan tetap berjuang dalam dakwah di tengah tanggung jawab yang bertambah barangkali adalah satu hal yang tidak mudah. Tetapi jatuh-bangunnya hamba dalam dakwah sebenarnya adalah anugerah yang terindah. Ketika kehidupan berlalu lancar tanpa harus diperjuangkan, dimana letak keindahannya? Keindahan hidup karena kita harus berpeluh keringat, berjuang berdarah-darah, mengusahakan yang terbaik sebagai wujud kecintaan kita kepada Allah.
            Salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk mendapatkan keturunan yang sah. Artinya, cepat atau telat mereka yang berumah tangga akan dikaruniani buah hati. Buah hati atau anak tiada lain adalah kepanjangan tangan orang tua. Mereka pula yang nantinya akan melanjutkan tugas dan amanah kedua orangnya. Bagi orang tua, mendidik anak sebaik mungkin, mencurahkan kasih sayang yang tulus, hinggga buah hati menjadi anak yang shalih dan shalihah adalah bagian dari dakwah. Mereka yang kemudian dengan ikhlas mendoakan yang terbaik untuk orang tuanya, dan itulah buah dari didikan orang tua.
            Perjuangan dakwah melalui jalur pernikahan memang luar biasa. Di situlah kita lebih dilatih untuk belajar meletakkan kepentingan pribadi lalu bangkit memikirkan kebaikan dan kemaslahatan banyak pihak. Nasihat yang sering diperdengarkan: “Ketika kita memikirkan kesejahteraan orang lain maka Tuhan yang akan memikirkan kesejahteraan kita. Sebaliknya, tatkala kita memikirkan kesejahteraan diri kita pribadi maka Tuhan akan memikirkan kesejahteraan orang lain.” Semakin besar kita berkorban dalam dakwah dan kebaikan maka kita akan semakin dijamin oleh Allah Yang Maha Segalanya. InnalLāha ma’anā…
            Terakhir, saya hanya ingin memberikan nasihat bagi mereka yang saat ini sedang bimbang. Kalau memang yakin masih kuat dengan kesendirian, masih butuh banyak persiapan, maka tidak menikah cepat adalah pilihan bijak. Andai sudah mendapatkan gadis pujaan, segara siapkan diri, mantapkan mental untuk melamar, dan jangan mengulur-ulur tanggal pernikahan. Bagi yang sudah menjalin hubungan tetapi ternyata karena satu dan lain hal belum siap menikah hendaknya merenungkan ulang paparan sebelumnya. Pastinya, perjuangan dakwah itu akan semakin indah bila sesuai dengan jalan Allah, Pemberi Rahmah.
            Perlu juga diingat bahwa menikah juga tidak boleh asal-asalan. Jangan sampai pernikahan baru berumur jagung tetapi harus dibawa ke Pengadilan Agama. Kita memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi pendamping hidup. Saran Rasulullah, utamakan agama (akhlak, perilaku, perangai) yang menjadi patokannya. Kalau sudah mantap langsung diteruskan kepada pintu kemuliaan bernama pernikahan. Menunda berarti memberikan kesempatan diri untuk menjadi ragu; jangan-jangan dia bukan yang terbaik. Semakin banyak memilih seringkali membuat bimbang. Wa akhīran, mantapkan dan terus lanjutkan perjuangan dakwah kita