Senin, 01 Juli 2013

PENGERTIAN & HUKUM SUNGKEM


 Wujud (menyembah) itu memang hanya kepada Allah, bukan kepada orang tua. Lalu bolehkah kita sungkem? Atau adakah sujud yang bukan menyembah? Bagi yang terbiasa tidak sungkem, mungkin tidak mengapa, tetapi bagi orang yang terbiasa merendahkan dirinya dihadapan orang tua. Pada momen idul fitri, sungkem terasa sebagai berjuta bakti yang sulit diungkap dikarenakan sayang tak berhingga dari kedua orang tua kita. Memang sungkem adalah gerakan membungkuk kepada orang tua, sebagai wujud kerendahan seorang anak kepada orang tua, dan bukannya bersujud atau menyembah orang tua. Sebenarnya membungkukkan badan tidaklah dilarang. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah Al Israa ayat 24 Allah yang artinya:
Imam Irfa'i
 “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
 Ternyata, Banyak orang mengira bahwa arti atau makna sungkem adalah sujud yang diidentikkan dengan menyembah, sehingga banyak orang yang berpikir bahwa sungkem itu adalah menyekutukan-Nya. Anggapan semacam itu tentu tidak benar, mengingat kisah dimana Nabi Yusuf pernah menaikkan kedua orang tuanya ke atas sebuah Singgasana dan menerima sujud dari kedua orang tuanya. Sujud disini tidak diartikan sebagai menyembah, melainkan suatu penghormatan. Kisah sujud yang tidak semata-mata menyembah terdapat dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 101 yang Artinya:
 “Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkata Yusuf: “Wahai ayahku inilah ta’bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawa kamu dari dusun padang pasir, setelah syaitan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
 Sujud disini ialah sujud penghormatan bukan sujud ibadah. Persoalan hubungan kepada Allah taala dan juga hubungan kepada orang tua sangat tegas dalam Al-Quran. Kita dituntut untuk berbuat baik kepada orang tua, bahkan kita disuruh merendahkan diri kita dihadapan mereka, kecuali jika kita disuruh menyembah orang tua.
 Sungkem dilakukan dalam posisi orang tua sedang duduk, sehingga jika si anak merendahkan diri tentunya dia harus melakukan jongok. Dalam hal ini, memang ada adat sungkem yang menggunakan sungkem secara berlebihan, dengan gerakan mirip “sembah” (kedua telapak tangan bertemu, diletakkan di atas kepala dan wajah), misalnya di kraton. Apabila gerakan itu memang ditujukkan untuk menyembah dan bukannya untuk sekedar menghormati, maka itu bisa dipastikan haram dan memang dilarang. Sebagaimana Allah swt berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 9 yang Artinya:
 “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
 Batasan antara menyembah dengan penghormatan tentunya bukan dilihat dan didefinisikan dari sebuah gerakan, melainkan dari niatnya. Gerakan menyembah di tiap agama, budaya, bangsa akan berbeda. Ada yang menyembah dengan bersujud, membakar dupa, berjongkok, berbaring, bahkan juga berdiri dll. Tentunya perbedaan antara menyembah dengan bukan menyembah, adalah terletak pada niatnya. Berbuat baik, patuh dan menuruti perkataan orang tua, tetapi tidak menyembah mereka juga tertulis dalam surah Al Isra ayat 24. Allah SWT menegaskan:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
 Sungkem adalah wujud kerendahan diri, bakti seorang anak kepada orang tua sebagaimana telah dibahas dalam surah Al Isra ayat 24 di atas. Allah menyuruh anak berbakti kepada orang tua agar supaya dijauhkan dari perbuatan sombong lagi durhaka. Sebagaimana firmannya dalam surah Maryam ayat 15 yang Artinya:
 Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka”.
 Kesadaran untuk berbuat baik kepada mereka karena sesungguhnya orang tualah yang telah membesarkan dan merawat kita diwaktu kecil. Sebagai mana Allah SWT berfirman dalam surah As Syura ayat 16 yang artinya:
 ” Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
 Apapun penafsiran dan sangkaan manusia dalam setiap baik dan buruknya amalan kita, sesungguhnya bagi diri kita adalah bagaimana niat kita dalam menjalankan ibadah. Niat inilah yang membedakan antara menyembah ataupun menghormat, dan sesungguhnya Allah lah yang maha mengetahui segala sesuatu. Sebagai mana Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 37;
 “Dan kebanyakannya dari mereka, tidak menuruti melainkan sesuatu sangkaan sahaja, (padahal) sesungguhnya sangkaan itu tidak dapat memenuhi kehendak menentukan sesuatu dari kebenaran (iktikad). Sesunguhhnya Allah Maha Mengetahui akan apa yang mereka lakukan”



Niat inilah yang membedakan antara perbuatan baik dan buruk juga dijelaskan dalam kitab Riyadhus sholihin: Dari Amiril Mukminin-Abu Hafash-Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdillah bin Qurth bin Razah bin Ady bin Ka’ab bin Luayyin bin Gholib al-Qurasyi al-Adawi r.a. berkata:
 “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya segala perbuatan itu bergantung pada niatnya. Sesungguhnya tiap-tiap orang mempunyai sesuatu yang diniati (baik maupun buruk). Maka, barang siapa yang berhijrah (dari tempat tinggalnya ke madinah) untuk mencapai ridha Allah dan rasulNya (dan hijrah tersebut diterimaNya). Barang siapa yang hijrahnya untuk mencari harta dunia atau seorang perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya (bukan untuk mencapai ridha Allah dan Allah tidak menerimanya), tapi hijrahnya untuk tujuan hijrah itu sendiri,” (H.R. Muttaaq alaih).
 Sesungguhnya ridha orang tua kita adalah ridha Allah, sebagaimana hadits berikut :
 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, Ibnu Hibban, Hakim dan Imam Tirmidzi dari Sahabat dari sahabat Abdillah bin Amr dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ridha Allah tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad (2), Ibnu Hibban (2026-Mawarid), Tirmidzi (1900), Hakim (4/151-152))
 Berbakti Kepada Orang Tua Merupakan Sifat Baarizah (yang menonjol) dari Para Nabi. Dalam surat Ibrahim ayat 40-41: “Wahai Rabb-ku jadikanlah aku dan anak cucuku, orang yang tetap mendirikan shalat, wahai Rabb-ku perkenankanlah doaku.Wahai Rabb kami, berikanlah ampunan untukku dan kedua orang tuaku. Dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab.”
 Kemudian dalam An Nahl ayat 19 tentang nabi Sulaiman ‘alaihi salam. Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah engkau anugrahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk mengajarkan amal shalih yang Engkau ridlai dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih.”
 Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa bakti kepada orang tua merupakan sifat yang menonjol bagi para nabi. Semua nabi berbakti kepada kedua orang tua mereka. Dan ini menunjukan bahwa berbakti kepada orang tua adalah syariat yang umum. Setiap nabi dan rasul yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ke muka bumi selain diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada Allah, mentauhidkan Allah dan menjauhi segala macam perbuatan syirik juga diperintahkan untuk menyeru umatnya agar berbakti kepada orang tuanya. Bahwa berbakti kepada kedua orang tua dalam amal adalah yang paling utama. Dengan dasar diantaranya yaitu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Dari sahabat Abu Abdirrahman Abdulah bin Mas’ud radliallahu ‘anhu:
 “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amal-amal paling utama dan dicintai Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘pertama Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat diawal waktunya), kedua berbakti kepada kedua dua orang tua, ketiga jihad di jalan Allah’.” [HR. Bukhari I/134, Muslim No. 85, Fathul Baari 2/9]
 Demikian semoga tulisan ini bermanfaat, agar kesalahpahaman antara sungkem yang dalam budaya Jawa dianggap sebagai penghormatan, tidak dipandang keliru oleh budaya lainnya. Mohon maaf semoga dengan penjelasan ini tidak ada yang salah sangka.
 Dan semoga Allah Swt senantiasa memberikan taufiq agar kita dapat selalu terjaga untuk melakukan ibadah yang dicintai-Nya

Rabu, 15 Mei 2013

Photo Keluarga Besar Rayhan Imam



KELUARGA BESAR  IMAM MUSIDI


Imam Musidi dengan cucunya





Ibu q Sumizah dengan cucunya





Ibu q
Ibu Sumizah

Bpk. Imam Musidi & anak Ragil Imam Irfa'i
Imam Muchani, SH. M.H.I (Ka2k no 5)



Imam Muchani, M.H.I & Imam Irfa'i, S. Kom.I
















RoMi
Lisa Eva Yanti (Keponakan)

Mbk Endang Sulistiyawati, S.P (Menantu)




   
Amelia (Keponakan)
Rani Agustina

Siti Aminah (Menantu)

Agus Pujianti (Menantu)

Nurmawati (mbak no  ke 4)     

















































Deni Susanto (Keponakan)





Eko Sujatmiko ,Ama. Pd. Or   (Kakak No 3)























Rizki dari Allah

Photo Rayhan Imam

Manusia diwajibkan untuk berusaha mencari penghidupannya, mengais kepingan rizki dari Allah sembari memohon barokah atas rizki tersebut. Sekalipun buku langit sudah menuliskan batasan rizki tiap manusia, limpahan rahmat itu tidak akan turun dengan sendirinya bila tidak diusahakan. Semua adalah rahasia dan urusan Allah, sebagaimana jodoh dan mati. Berdoa tanpa berusaha hanya sia-sia karena tiada perubahan tanpa upaya. Yang paling benar adalah bertawakal, yaitu menyerahkan semuanya kepada Sang Pemberi Hidup setelah semua upaya dikerahkan.
Hidup ini episodik, saya yakin sekali beruas-ruas seperti bambu, tidak lurus mulus seperti sebatang tiang pancang beton. Ruas-ruas tersebut dipenuhi dengan pergiliran kehidupan antara kesempitan dan kelapangan. Saya meyakini hal ini, karena Allah menyebutkannya dalam sepotong ayat dalam QS. Al-Insyirah 5 – 6 … faa innama’al usri yusraan, innama’al usri yusraan ... sebuah kalimat yang sama diulang dua kali berturut-turut. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan, setelah kesulitan ada kemudahan.
Sekalipun tidak ada janji bahwa setelah ada kemudahan akan ada kesulitan, kita harus paham bahwa kesulitan pasti akan muncul sebagai kodrat kehidupan manusia. Setiap jengkal langkah kita untuk maju, dan berupaya menjadi insan kamil, pasti akan dihadang kesulitan. Kesulitan yang terbesar sebenarnya berada di dalam pikiran, bukan di luar diri kita. Bila terbiasa dengan harta yang cukup, ketika hilang sebagian kesedihan langsung menyergap. Padahal secara objektik sisa harta yang dimiliki masih jauh lebih banyak daripada milik seorang buruh pabrik. Sewaktu kehilangan kekasih, dunia seakan runtuh dan ingin mengakhiri hidup, padahal jodoh adalah urusan Allah. Ketika di PHK, ingin rasanya membunuh sang Manajer Personalia, padahal jalan rizki masih terbentang lebar asal dicari dengan sungguh-sungguh.
Saat menjalani kehidupan, tenggelam dalam sebuah episode kehidupan, saya kerapkali lupa bahwa saya sedang berada dalam sebuah episode. Bila tengah gembira, seolah lupa bahwa tiba-tiba Allah bisa menumbangkan kegembiraan itu ke jurang kesedihan. Bila sedang berduka, pesimis akan ada waktu lain untuk bangkit dan kembali bergembira. Manusia lebih mudah mengenali dukanya daripada gembiranya. Ketidak sedang berduka, terasa sekali keinginan untuk mengakhirinya dan untuk itu selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebaliknya, tatkala sedang bahagia, orang cenderung lupa bahwa perjalanan hidup di dunia ini semuanya nisbi. Tidak ada yang mutlak.
Kita pasti masih ingat berbagai wacana tentang orang-orang yang didakwa terlibat dalam gerakan PKI dan dipenjara tanpa pengadilan yang jelas. KTP mereka diberi tanda dan keluarga mereka secara otomatis terimbas stigma tahanan politik, dijauhi orang, dan tidak bisa memperoleh penghidupan sebagaimana orang lain pada umumnya. Setelah kejatuhan rezim Suharto, barulah kondisi berubah. Sementara Allah Swt meniadakan dosa turunan, mengapa manusia menciptakan aturan baru tentang dosa orang tua?
Kita juga belum lupa, bagaimana pejabat sipil, petinggi militer, anggota parlemen, menjadi impian bagi kebanyakan pemuda. Bukan mengimpikan untuk mengabdi kepada bangsa dengan benar, tetapi memperoleh harta dunia yang memabukkan. Pekerjaan di lembaga keuangan seperti BI, pajak dan bea cukai, industri strategis seperti Pertamina dan PLN, semuanya menggiurkan karena dianggap “basah”. Sekarang, berlandaskan itikad Pemerintah untuk menegakkan aparat yang bersih, KPK mengasah taring dan taji memberangus para tersangka korupsi. Era kegemilangan para benalu bangsa sudah mulai memudar.
Karena hidup ini adalah pergiliran, episodik seperti ruas-ruas bambu, sudah selayaknya bila kita tidak pernah lupa untuk bersyukur pada tiap jengkal rizki Allah. Kita dipersilakan untuk melakukan shalat Dhuha bila ingin kelimpahan rizki Allah, dan bayangan kita adalah gumpalan emas atau timbunan uang. Tapi, saya juga pernah membaca, seharusnya yang kita minta dalam shalat Dhuha adalah barokah rizki. Rizki tentunya semua hal yang datang kepada kita, kita duga maupun tidak, namun tidak semuanya barokah. Bila seseorang tidak pernah merasa cukup dengan rizki yang diterimanya, waspadalah dengan kebarokahan rizki yang diperolehnya. Barokahnya rizki membuat perasaan kita senang, sepiring nasi, sayur kangkung, dan sepotong tempe goreng membuat kita gembira, terlebih ketika anak-anak kita tersenyum ketika memakannya.
Kepedihan dan derita yang kita alami dalam kehidupan pasti bukan kebetulan. Seorang bijak mengatakan, tidak ada kebetulan dalam hidup ini. Semua sudah diatur dan menjadi bagian dari riwayat kita. Orang Barat mengatakan: what can not kill you will make you stronger. Saya pribadi mengatakan, Allah selalu memberikan yang terbaik bagi umat-Nya, sekalipun mungkin dalam bungkus terburuk dan terpahit. Semua pengalaman yang tidak menyenangkan hanya akan meningkatkan imunitas tubuh kita.
Kalau sekarang kita sedang dalam kesulitan dan kesusahan, jangan bersedih, sebab pada saatnya nanti kita akan diberikan kegembiraan. Mungkin 1 tahun atau mungkin 3 tahun lagi, kita bisa bercerita pada orang lain bagaimana kita bisa bertahan dan menasihati mereka cara menyelesaikan masalah serupa itu.
Kalau sekarang kita sedang di puncak kegembiraan, tetap ingat bahwa jurang lebar penderitaan siap memakan kita tanpa ampun. Semakin kita lupa, lebih sakit rasa jatuh nanti. Kalau kita waspada, insyaallah kita bisa mempersiapkan perasaan ketika harus jatuh. Hidup ini bukan soal seberapa kuat kita menahan kejatuhan, karena cepat lambat akan terjadi. Tapi, bagaimana kita bangkit dan berjalan lagi setiap kali jatuh.
Sebagai penutup mari simak bunyi QS. Al-A’raf ayat 96: “Jika sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka medustakan (ayat-ayat itu), maka Kami sika mereka disebabkan perbuatannya”.
Semoga bangsa ini memang sedang menuju ke arah kedewasaan, meninggalkan segala kemungkaran karena menemukan cahaya kebenaran. Lalu, nestapa yang kita alami sekarang ini kemudian hanyalah sepenggal episode yang akan kita kenang dengan manis beberapa tahun mendatang. Insyallah

Rabu, 27 Maret 2013

setiap hari sebanyak seratus kali



قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تُوْبُوا إِلَى اللَّهِ تَعاَلَى فَإِنِّي أَتُوْبُ إِلَيْهِ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ -البخاري في أدب المفرد

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya setiap hari sebanyak seratus kali”. (Riwayat Al Bukhari dalam Adab Al Mufrad dan dihasankan oleh Al Hafidz As Suyuthiy)

Al Hafidz Al Ala’iy menjelaskan bahwa maksud taubat di hadits itu adalah taubat istighfar, yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam banyak melakukannya. 
Imam Al Ghazaliy menjelaskan bahwa bentuk taubat itu bertingkat-tingkat sesaui dengan kondisi keimanan pelakunya. Bertaubatnya orang kebanyakan dalah bertaubat dari dosa-dosa yang telah ia lakukan. Sedangkan taubatnya orang shalih adalah taubat dari kelalaian hati. Dan taubat bagi orang-orang yang mencapai derajat keshalihan yang cukup tinggi (khawwas al khawwas) adalah istighfar dari perhatiannya terhadap selain Allah Ta’ala, karena kata “dzanbun” (dosa) secara bahasa bermakna derajat lebih rendah seorang hamba. Dengan demikian, setiap derajat keimanan memiliki taubat sendiri, hingga dengan taubat derajat keimanan dan derajat pertaubatan semakin meningkat.

Imam Al Munawiy menjelaskan bahwa ada perbedaan penyebutan jumlah taubat dalam hadits ini dan hadits lainnya yang menyebutkan 70 kali, namun itu semua cermin banyaknya istighfar bukan pembatasan jumlah istighfar yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (lihat, Faidh Al Qadir, 3/361,362).

Jika Rasulullah Shallallallahu Alalihi Wassallam perbanyak istighfar dalam setiap harinya, begaimana dengan kita “bangsa awam” yang banyak dosanya?



Rayhan Imam